KOTA Tegal kembali dilanda konflik. Kali ini setelah muncul protes dari warga setempat terhadap dampak revitalisasi kawasan alun-alun. Warga merasa terhambat akses keluar-masuk kawasan akibat penutupan jalan di malam hari, dari pukul 17.30 hingga pukul 00.00. Penutupan jalan ini juga menekan omzet perdagangan karena pembeli atau pengguna jasa terhalang masuk ke kawasan alun-alun.
Protes dan perlawanan warga yang semula berlangsung secara perorangan meningkat menjadi perlawanan kelompok, menyusul pembentukan wadah para pedagang dan pemilik toko yang diberi nama Paguyuban Pedagang Kawasan Alun-Alun Tegal (P2KAT). Paguyuban ini mewadahi warga dan seluruh pedagang di kawasan ini. Termasuk para pemilik kios dan PKL di Pasar Malam yang menempat lahan PT. KAI. Jumlah seluruh pedagang yang menjadi anggota P2KAT sekitar 500 orang.
Lewat P2KAT, protes dan perlawanan warga berlangsung secara lebih rapi, sistematis, dan terarah. Agenda-agenda kegiatannya dijalankan dengan lebih tertib dan santun, karena menggunakan prinsip perlawanan yang legal dan tanpa kekerasan. Protes massal dan turun ke jalan hanya akan dilakukan jika seluruh cara yang sopan tidak mempan. Tujuan utama perlawanan sudah digariskan, yaitu menuntut dibukanya seluruh portal alun-alun dan dicabutnya rambu-rambu larangan parkir di Jalan Pancasila.
Dengan prinsip dan agenda yang demikian, P2KAT menyurati Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan bahkan ayahanda Dedy Yon di Brebes, yaitu Muhadi Setiabudi. Surat ke Gubernur ditembuskan ke Presiden, Menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan, Menteri Koperasi dan UKM, serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Mereka juga bertemu dan mengadukan masalahnya kepada Kapolresta Tegal AKBP Rahmad Hidayat dan Dandim 0712/Tegal Letkol. Inf. Charlie Sondakh. Keduanya ditemui selaku anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) yang bertanggung jawab atas stabilitas, keamanan, dan ketertiban Kota Tegal. Bukan hanya itu. Merasa pendekatan yang dilakukan ke aparat setempat belum membuahkan hasil, P2KAT juga menyurati Kapolri dan Panglima TNI.
Untuk menggalang empati dan dukungan dari masyarakat luas, mereka mengunjungi para tokoh agama (toga) dan tokoh masyarakat (tomas) Kota Tegal. Bahkan saat Habib Lutfi berada di Tegal pada 16 Desember 2021 malam, mereka juga sempat menemuinya untuk meminta doa restu dan dukungan agar perjuangan mereka berhasil.
Bersamaan dengan digencarkannya komunikasi melalui surat dan audiensi, menyebarkan press release ke media massa, dan aktif sosialisasi di medsos, mereka memanfaatkan setiap kesempatan dan momentum untuk menyuarakan aspirasinya. Misalnya, saat Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro mengadakan acara “KSP Mendengar” untuk wilayah Bregas (Brebes-Tegal-Slawi) di sebuah hotel di Tegal, 13 Desember 2021. Pengungkapan aspirasi dalam acara ini membuahkan “sidak” KSP ke kawasan alun-alun dan bergemanya kasus ini ke seantero Bregas lewat perwakilan elemen-elemen masyarakat yang hadir dalam forum KSP itu.
Di lapangan, P2KAT menggelar acara untuk menguatkan semangat perjuangan dan melakukan gerakan untuk mengirim pesan yang tegas dan jelas kepada masyarakat umum. Ada acara Doa Bersama yang diselingi orasi, baca puisi oleh kalangan mahasiswa, dan pembagian bendera kuning. Pengibaran bendera kuning sebagai simbol dukacita di toko-toko dan kios-kios di seluruh kawasan alun-alun merupakan gerakan senyap dengan pesan yang jelas. Mereka ingin menunjukkan kondisi yang dialaminya sebagai dampak proyek revitalisasi.
Tak pelak, kasus lokal ini telah bergema secara nasional dan memaksa sejumlah pejabat tinggi serta otoritas nasional untuk melakukan komunikasi dan intervensi kepada Pemerintah Kota Tegal. Hal ini tentu tidak lepas dari kegigihan dan militansi P2KAT dalam memperjuangkan tuntutannya, pola gerakan perlawanan yang dipilih, dan efek dari kemajuan teknologi komunikasi digital.
Tinjauan Kebijakan Publik
Untuk menelusuri akar dari persoalan ini, kita bisa meniliknya dari sumber dan proses terbentuknya kebijakan tersebut. Revitalisasi kawasan alun-alun Kota Tegal, disusul perubahan fungsi Jalan Ahmad Yani dari jalan primer kota menjadi kawasan kuliner – yang dipopulerkan sebagai “Malioboro”-nya Tegal, adalah sebuah kebijakan publik. Artinya, proyek ini melibatkan kepentingan banyak orang dan berdampak pada publik.
Sebagai produk dari kebijakan publik, revitalisasi kawasan alun-alun yang mencakup renovasi Taman Pancasila, pelebaran Jalan Pancasila, dan pemugaran alun-alun, harus berangkat dari proses kebijakan publik yang benar. Begitu pula revitalisasi Jalan Ahmad Yani. Setidak-tidaknya, menurut Anderson (1984), kebijakan tersebut harus mencakup aspek substansial dan prosedural.
Aspek substansial adalah apa yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah agar suatu kebijakan dapat mencapai tujuannya, yaitu kesejahteraan rakyat. Sedangkan aspek prosedural mencakup apa dan bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan. Hal ini berarti kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah.
Mengapa revitalisasi kawasan alun-alun dan Jalan Ahmad Yani menimbulkan protes dan resistensi dari warga, tentu harus ditelusuri sebab dan akar persoalannya. Suatu kebijakan publik ditolak oleh warga yang terdampak pastilah ada masalah di dalamnya. Ada tahapan proses yang salah atau menyimpang dalam aspek substansial maupun prosedural. Secara substansial, bisa saja yang sudah dicanangkan dan dikerjakan pemerintah salah. Adapun secara prosedural, kebijakan itu mungkin kurang melibatkan pejabat dan institusi pemerintahan yang lain.
Suatu kebijakan publik (public policy) harus dirumuskan dan dibuat desainnya lebih dulu. Dari proses awal ini akan terlihat model kebijakan publik mana yang dipilih atau terbentuk. Dari berbaga model kebijakan publik yang ada, proyek revitalisasi alun-alun dan Jalan Ahmad Yani Kota Tegal sepertinya lebih mencerminkan model kebijakan yang elitis.
Menurut Thoha (2008), model kebijakan elitis lahir dari keinginan (preferensi) elite yang berkuasa. Walaupun sering dikatakan bahwa kebijakan itu untuk kepentingan orang banyak, acapkali pernyataan itu lebih merupakan mitos daripada kenyataan yang sesungguhnya.
Model kebijakan elitis menghendaki rakyat dalam keadaan miskin informasi serta bersikap pasif dan apatis. Elite berusaha membentuk opini masyarakat terkait kebijakan tersebut. Pejabat-pejabat pemerintah, administrator-administrator, dan birokrat hanya melaksanakan kebijakan yang telah dibuat oleh elite tersebut. Kebijakan mengalir dari elite ke massa melalui para administrator tersebut. Jadi alur kebijakan bersifat top-down, bukan bottom-up.
Dijelaskan oleh Thoha, ciri-ciri kebijakan elitis ini adalah sebagai berikut:
- Struktur masyarakat hanya terdiri atas dua bagian, yaitu sebagian kecil orang yang berkuasa dan bagian terbesar warga yang tidak mempunyai kekuasaan. Bentuknya mirip piramida kalau digambarkan secara geometris. Sebagian kecil orang yang berkuasa itu memaksakan nilai-nilainya kepada masyarakat banyak.
- Kebijakan lahir dari kehendak elite melalui para pejabat dan administrator yang melaksanakan kebijakan tersebut dengan sasaran rakyat banyak. Rakyat hanya menjadi objek dari keinginan-keinginan elite.
- Untuk menjamin stabilitas dan mencegah perlawanan atau bahkan revolusi, gerakan-gerakan nonelite yang membahayakan posisi elite harus dikendalikan. Hanya nonelite yang mau menerima konsensus dari elite yang diperkenankan masuk dalam lingkaran kekuasaan elite tersebut.
- Kebijakan publik yang dibuat bukanlah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat, melainkan lebih menonjolkan kepentingan sekelompok elite yang berkuasa. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik lebih bersifat tambal sulam (incremental) daripada perubahan besar yang berlangsung seketika (revolusioner).
- Massa yang pasif hanya memengaruhi sekelompok kecil elite yang berkuasa. Elite lebih banyak memengaruhi massa yang pasif.
Perlu Evaluasi Kebijakan
Dari gambaran tersebut, implementasi kebijakan revitalisasi kawasan alun-alun dan Jalan Ahmad Yani bisa diperkirakan mengarah ke mana. Karena rakyat hanya menjadi objek, maka subjeknya adalah kelompok elite yang berkuasa. Merekalah yang lebih diperhatikan kepentingannya dan lebih diuntungkan oleh kebijakan tersebut.
Hal ini bisa dilihat dari sejauh mana aspirasi warga setempat yang terdampak diperhatikan dan diutamakan oleh Pemkot Tegal. Kenyataannya, warga dan pemilik usaha setempat justru dikorbankan untuk kepentingan elite tadi. Dengan “menumpangi” alasan pandemi Covid-19, alun-alun diportal dan di sepanjang Jalan Pancasila dilarang parkir. Kawasan ini secara sepihak dinyatakan sebagai ruang publik yang hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Secara sepihak, karena tidak bersesuaian dengan Perda Kota Tegal Nomor 1 Tahun 2021 yang menetapkan alun-alun sebagai kawasan perdagangan.
Apa yang dimaksud dengan ruang publik untuk pejalan kaki sesungguhnya kontradiktif dengan substansi kebijakan tersebut. Misalnya, kalau hanya untuk pejalan kaki, mengapa Jalan Pancasila harus dilebarkan dan hendak diaspal ulang. Trotoarnya juga diperlebar. Kenapa jalan kakinya tidak cukup di trotoar itu saja. Pelebaran trotoar menjadi masing-masing lima meter – menurut kalangan pakar perancangan kota – harus disesuaikan dengan kepadatan pejalan kaki. Kalau pejalan kaki mencapai ribuan orang per menit, maka trotoar bisa dilebarkan sampai lima meter.
Apa yang berlangsung dalam proses revitalisasi Jalan Ahmad Yani lebih kentara memperlihatkan pemihakan kebijakan kepada kelompok elite. Mobil lapak (food truck) yang harganya ratusan juta rupiah jelas tidak akan mampu dibeli oleh para PKL yang tergusur. Mobil-mobil dagangan yang otomatis dikoordinasikan pengadaannya oleh instansi terkait itu menunjukkan implementasi kebijakan yang tidak berpihak kepada publik, khususnya warga yang terdampak.
Jika kebijakan itu dinilai tidak sesuai dengan substansi dan menyimpang dari prosedur, maka sudah seharusnya ada evaluasi. Secara teoritis, tidak ada batas waktu kapan suatu kebijakan harus dievaluasi. Dalam kasus kebijakan di Kota Tegal ini, evaluasi sudah harus dilakukan karena dampaknya nyata dan muncul perlawanan dari warga. Menurut Anderson, evaluasi harus mencakup substansi, implementasi, dan dampak kebijakannya.
Siapakah yang harus melakukan evaluasi? Siapa lagi kalau bukan DPRD Kota Tegal, yang telah menerima usulan program dari Wali Kota dan menggedok anggarannya. Evaluasi ini perlu dilakukan sungguh-sungguh untuk memperbaiki dampaknya dan memutus rantai pengorbanannya. Jangan sampai dana APBD ratusan miliar rupiah untuk proyek-proyek itu terbuang percuma, karena hanya menguntungkan rakyat daerah lain dan menyengsarakan rakyatnya sendiri.
Karena kebijakan bersifat elitis, sebagaimana telah diuraikan, maka dengan sendirinya tidak ada jaminan transparansi dan akuntabilitas. Dua syarat ini adalah elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Elemen-elemen lainnya meliputi partisipasi publik, asas keadilan (rule of law), peka dan tanggap (responsivitas), dirumuskan bersama (konsensus), kesamaan hak, efektivitas dan efisiensi, serta bervisi strategis untuk hari depan yang lebih baik (Sedarmayanti, 2003).
Transparansi dan akuntabilitas diperlukan untuk menjamin seluruh proses kebijakan publik terbuka, dapat diakses oleh masyarakat, terkontrol, efisien, serta menutup celah kebocoran dan korupsi. Good governance menjadi salah satu ciri negara yang demokratis.
Untuk menjamin terlaksananya good governance itu, telah diterbitkan banyak undang-undang dan turunannya. Salah satunya adalah UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-undang ini memerintahkan kepada seluruh badan publik untuk membuka informasi publik yang dibutuhkan masyarakat. Dengan keterbukaan informasi ini, masyarakat bisa ikut berpartisipasi dan mengawasi kebijakan publik.
—
Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal
Discussion about this post