FRAKSI Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Kota Tegal menyoroti masih beroperasinya hiburan malam seperti karaoke di bulan suci Ramadan. Menurut Ketua FPKS Amiruddin, hal itu menimbulkan keprihatinan karena tidak selaras dengan visi dan misi pemerintahan Wali Kota Dedy Yon dan Wakil Wali Kota Muhamad Jumadi.
“Sangat disayangkan, di bulan Ramadan tempat hiburan malam dibiarkan tetap buka,” kata Amiruddin dalam keterangan tertulis, Jumat (22/4/2022). Ditegaskan, hal itu membuktikan atmosfer kehidupan Kota Tegal yang agamis benar-benar belum terwujud.
Untuk membangun masyarakat Kota Tegal lebih agamis, lanjutnya, dibutuhkan banyak peran berbagai pihak. Pemkot seharusnya lebih punya peran untuk menegakkan aturan, seperti misalnya melalui regulasi membuat surat edaran wali kota. Mengandalkan pemerintah saja memang tidak cukup, perlu melibatkan para aktivis masyarakat atau pemuka agama agar turut bisa membantu menciptakan iklim positif bagi kehidupan warga Kota Tegal.
Masukan dan kritik dari FPKS kepada Pemkot Tegal ini patut dihargai. Begitulah seharusnya peran dari unsur-unsur utama DPRD dalam tugasnya mengontrol pemerintahan. Akan lebih bagus lagi kalau semua fraksi juga peduli dengan masalah ini, bukan hanya dari FPKS. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat Kota Tegal yang religius juga sudah menjadi warisan sejarah yang perlu diuri-uri.
Tegal yang Religius
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Islam masuk ke Jawa melalui daerah pesisir. Baik di Samudera Pasai maupun di Gresik, Islam berkembang pertama di pesisir dan kemudian baru ke daerah pedalaman.
Sejak munculnya pengaruh Kerajaan Islam Bintoro Demak – yang ditandai dengan keberadaan Mbah Panggung (Syaikh Abdurrahman) di Tegal hingga saat pesisir utara Jawa dikuasai Kerajaan Mataram Islam, daerah-daerahnya tetap memiliki ciri sosial dan budayanya sendiri yang berbeda satu sama lain. Cirebon, Tegal, Semarang, Jepara, Pati, Tuban, dan Surabaya punya dialek dan identitasnya sendiri.
Namun, karakter mereka umumnya terbuka dan dinamis karena kesamaan budaya maritim atau “budaya air” dalam istilah WS Rendra. Kesamaan lainnya, menurut sejarawan Nagtegaal, adalah tradisi keagamaannya. Masyarakat pesisir Jawa punya ciri keislaman yang lebih puritan.
Begitu pula Islam di Tegal berkembang dari daerah pantai ke pedalaman. Pelabuhan Tegal di Pesengkongan yang dulu menjadi titik pertemuan para saudagar Muslim dari berbagai daerah dan mancanegara, dikenal sebagai pusat perkembangan Islam di Tegal. Musholla Istiqomah yang hingga sekarang masih berdiri menjadi saksinya.
Pada masa kolonial Belanda, Pelabuhan Pesengkongan juga terkenal sebagai pusat keberangkatan awal para calon jamaah haji dari Tegal dan sekitarnya. Data statistik jamaah haji di Tegal pada sekitar pertengahan abad 19 menunjukkan, jumlah calhaj itu signifikan pada masanya. Sejak dulu sudah ada semacam organisasi Persaudaraan Haji Indonesia (PHI) dengan sekretariatnya di lokasi dekat Masjid Al-Hikmah Pesengkongan sekarang.
Berdirinya Masjid Agung pada 1825 juga menunjukkan tonggak perkembangan Islam yang pesat di Tegal sejak awal abad 19. Intensitas dakwah Islam terus berlangsung hingga abad 20 dengan makin banyaknya pedagang dan pendakwah asal Arab yang bermukim di Tegal. Bersamaan dengan itu, berdiri pula pondok-pondok pesantren. Salah satu pesantren terkenal pada masa lalu adalah Pesantren Panggung yang didirikan oleh K.H. Mukhlas pada 1924.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Tegal juga sudah maju sejak abad yang lalu. Al-Islamiyah (Panggung), Assalafiyah (Randugunting), Al-Irsyad (Kraton), dan sekolah-sekolah Muhammadiyah sangat eksis dan berdiri berdampingan. Mereka bersama ormas-ormas Islam dipersatukan oleh Kiai Muchlas dalam tradisi Pawai Rolasan.
Perkembangan itu mendorong harmoni sosial di Tegal. Jarang ada ketegangan atau gesekan di antara berbagai aliran keagamaan dalam Islam maupun kehidupan antar-agama. Kiai Muchlas yang tokoh Masyumi bersahabat dengan Kiai Abdul Kadir Zaenal di Pesengkongan yang tokoh Persatuan Umat Islam (PUI), ormas yang didirikan oleh pahlawan nasional K.H. Abdul Halim dari Majalengka. Muhammadiyah dengan NU saling menghormati. Lembaga-lembaga pendidikan Islam saling bersaing tetapi bekerja sama.
Peran Pemerintah
Sudah betul dikatakan bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga dan memajukan kehidupan beragama, khususnya Islam. Apalagi bagi Pemerintah Kota Tegal terkait dengan sejarah, kemajuan, dan perkembangan Islam di daerah ini.
Peran tokoh agama dan masyarakat juga tidak kalah penting. Sejak dulu para ulama menjadi pelopor perkembangan Islam dan penjaga kehidupan keagamaan meskipun tanpa bantuan pemerintah. Pada zaman Belanda, para ulama bahkan berjuang ketika pemerintah kolonial membatasi dan merintangi perkembangan Islam.
Setelah merdeka, sudah semestinya pemerintahan yang dipegang bangsa sendiri memperhatikan dan memfasilitasi kehidupan keagamaan. Dasarnya adalah sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, karena kemerdekaan yang ditebus dengan darah, airmata, dan nyawa para ulama, mujahid, dan para pejuang kemerdekaan lainnya.
Akan tetapi kenapa dalam perjalanan bangsa ini terkadang pemerintah dianggap kurang care dalam menjaga iklim yang religius, seperti kasus hilangnya madrasah dalam RUU Sisdiknas dan dibiarkannya karaoke beroperasi saat Ramadan di Tegal?
Sejatinya, pemerintahlah yang harus mengambil inisiatif. Dengan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki, pemerintah bisa memengaruhi maju-mundurnya kehidupan beragama. Tanda tangan seorang kepala daerah bisa menyelamatkan atau menghancurkan iklim kehidupan.
Mengapa Wali Kota Tegal Dedy Yon tidak mengeluarkan surat edaran yang melarang atau membatasi hiburan malam beroperasi di bulan Ramadan? Pihak yang harus pertama mengingatkan adalah DPRD. Karena itu, semua fraksi atau pimpinan DPRD perlu peduli dengan masalah ini. Kalau kepedulian itu tidak direspons oleh Pemkot Tegal, barulah masyarakat diminta ikut menyikapinya.
Dengan uraian historis di atas, Pemkot Tegal diharapkan punya kepekaan dan kewajiban menjaga religiusitas kehidupan saat bulan suci Ramadan. Masalah tempat dan jam operasional hiburan malam menjadi wewenang Pemkot, bukan masyarakat.
Kalau Pemkot dinilai kurang peka, pasti ada penyebabnya. Mungkin tidak ada orang yang mengingatkan Wali Kota. Hal ini lazimnya tergantung dari orang-orang dekatnya. Mungkin juga ada konflik kepentingan dari Wali Kota sendiri atau orang-orang dekatnya dalam masalah hiburan malam ini. Namun apa pun latar belakangnya, untuk Kota Tegal yang dikenal religius, kealpaan ini patut disayangkan.
—
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post