NETIZEN dan suporter sepakbola Indonesia yang kecewa dengan kegagalan Tim Nasional U-19 lolos ke semifinal Piala AFF akibat dugaan sepakbola gajah (match fixing) oleh timnas Thailand dan Vietnam, mendesak PSSI untuk keluar dari AFF (Federasi Sepakbola ASEAN). Pertanyaannya, beranikah PSSI untuk memutuskan keluar dari AFF dan bergabung dengan Federasi Sepakbola Asia Timur (EAFF)?
Sebagaimana diketahui, Tim Garuda Muda gagal melangkah ke semifinal Piala AFF 2022 akibat aturan head-to-head yang diberlakukan oleh AFF. Dengan aturan ini, Garuda Muda yang memiliki selisih gol lebih baik harus tersingkir oleh Thailand dan Vietnam yang diduga bermain mata dengan hasil imbang 1-1 pada pertandingan terakhir fase Grup A. Dugaan itu muncul terutama karena selama 10 menit menjelang pertandingan berakhir, Tim Thailand hanya memainkan bola di daerah pertahanannya.
PSSI sudah melayangkan surat protes kepada AFF dan meminta federasi untuk menyelidiki dugaan main mata antara Tim Gajah Perang dan Tim Bintang Emas Muda itu. Namun hingga hari ini AFF belum memberikan tanggapannya.
AFF menerapkan aturan yang berbeda dari AFC dan FIFA. Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong mengatakan, aturan head-to-head sudah usang dan tidak bisa lagi digunakan. Terbukti kini aturan tersebut membuka peluang terjadinya sepakbola gajah dan merugikan tim lain. Sial bagi Timnas U-19 menjadi korban justru ketika pertandingan dimainkan di Tanah Air.
Produktivitas Tim
Secara logika, aturan head-to-head diterapkan apabila nilai akhir yang diraih oleh tim peserta dalam satu grup dengan sistem setengah kompetisi adalah sama. Aturan ini bukan hanya diterapkan dalam cabang sepakbola, tetapi juga pada cabang-cabang olahraga lainnya. Jadi apabila dalam kompetisi sepakbola selisih gol yang diraih oleh dua atau lebih tim sama, maka baru diterapkan head-to-head untuk menentukan siapa yang lolos dari fase grup.
Keputusan AFF untuk meloloskan Thailand dan Vietnam ke semifinal hanya berdasarkan aturan head-to-head, jelas tidak berdasarkan logika kompetisi yang fair. Selain itu, aturan tersebut bertentangan dengan semangat sepakbola modern yang mendorong produktivitas tim. Produktivitas itulah yang melahirkan sepakbola menyerang dan mencegah segala bentuk main mata.
Lebih runyam lagi, Thailand dan Vietnam yang “diloloskan” ke semifinal malah gagal tampil di final setelah masing-masing keok di tangan Laos dan Malaysia. Akhirnya yang menjadi juara adalah Malaysia. Tentu saja trofi juara bagi Malaysia berbeda maknanya apabila kompetisi berlangsung fair.
Fans Indonesia pun menyukuri kegagalan Thailand dan Vietnam ke final. “Riil karma!” tulis suporter kita di media sosial. Selain itu, mereka meminta PSSI untuk keluar dari AFF dan bergabung saja ke EAFF yang “kasta”-nya lebih tinggi dengan berbagai keuntungan.
Sepakbola memang tidak terpisahkan dari suporter. Keduanya sudah menjadi bagian dalam satu sistem permainan dan industri dalam sepakbola modern. Suara suporter layak didengar dan dipertimbangkan dalam keputusan oleh manajemen tim.
Tanpa suporter, kompetisi sepakbola akan sepi dan bangkrut, layaknya “sepakbola pandemi” yang tanpa penonton. Kepedulian dan keterlibatan suporter dalam mendukung timnya membuat sepakbola menjadi hiburan yang meriah dan berkembang menjadi industri yang maju.
Bukan hanya itu. Peran suporter telah membuat sepakbola lebih dari sekadar hiburan. Sepakbola telah menjadi media publik dan sarana untuk mengungkapkan aspirasi sosial hingga politik. Tidak heran, dalam kompetisi antara tim-tim nasional, sepakbola telah menjadi ajang sentimen politik antarnegara.
Di Eropa, setiap pertemuan puncak antara tim Jerman dan Inggris hampir selalu diwarnai ketegangan di antara kubu pendukung kedua tim. Kadang ketegangan itu memakai simbol-simbol masa lalu dalam hubungan kedua negara yang buruk, seperti saat Perang Dunia II. Sepakbola politik juga dialami tim Israil di lingkungan AFC pada era tahun 1970-an.
Plus-Minus Gabung EAFF
Jika PSSI keluar dari AFF untuk bergabung dengan EAFF, maka peristiwa ini bukan pertama kali suatu asosiasi sepakbola pindah federasi. Israel dan Australia sudah melakukannya.
Israel pindah dari AFC ke UEFA sejak dasawarsa 1980-an, menyusul boikot negara-negara Arab terhadap timnas Israel pada Asian Games 1974 di Teheran. Australia pindah dari Federasi Sepakbola Australia-Oceania (OFC) ke AFC pada 2016 agar bisa tampil di Piala Dunia.
Kasus Israel karena politik, sedangkan Australia karena ingin meningkatkan prestasinya. Bagaimana Indonesia? PSSI akan mencatatkan motif baru kalau betul pindah ke EAFF, yakni kekecewaan. Kekecewaan tidak cukup sebagai alasan untuk pindah federasi. Namun apabila kekecewaan ini ditingkatkan menjadi motif prestasi seperti Australia, maka keputusan PSSI untuk keluar dari AFF akan didukung banyak pihak.
Ada plus-minusnya PSSI bergabung dengan EAFF. Di EAFF bergabung sepuluh negara anggota dengan tiga negara di antaranya adalah langganan peserta Piala Dunia, yakni Jepang, Korea Selatan, dan China. Ada juga Korea Utara yang termasuk tim kuat. Bergabung dengan mereka akan mendapatkan lawan-lawan kompetisi yang lebih tangguh.
Keuntungan lainnya, peringkat PSSI akan terdongkrak lebih tinggi. Peringkat FIFA timnas Indonesia saat ini berada di urutan 155, hanya sedikit terpaut dari Hong Kong yang berada di peringkat 145. Artinya, ada “teman” selevel yang bisa menjadi sparring partner dalam kompetisi tahunan EAFF. Kecuali itu, karier pemain Indonesia juga diharapkan meningkat karena berpotensi merumput di klub-klub Asia Timur.
Namun ada juga minusnya. Kejuaraan EAFF menggunakan strata (kelas). Ada tiga kelas dalam turnamen Piala EAFF, yaitu kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas. Indonesia harus ikut kompetisi dari mulai kelas bawah sesuai peringkatnya. Jika juara baru naik ke kelas menengah. Kalau juara di kelas menengah, barulah bisa bertemu Jepang, Korsel, dan China di strata teratas kompetisi.
Tidak mengapa. Hal itu justru memberi tantangan dengan target yang lebih jelas, yakni Piala Dunia. Siapkan saja anggaran yang lebih besar karena tempat kompetisi menjadi lebih jauh dari sebelumnya di Asia Tenggara. Begitu pula kocek yang harus disiapkan oleh suporter yang ingin mendukung langsung timnya di sana. (*)
—
Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post