ADA usulan baru, menarik, dan patut dipertimbangkan oleh pemerintah. Usulan itu disampaikan oleh anggota DPR RI yang juga Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur M. Sarmuji. Ia mengusulkan agar Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) segera dicabut menjelang Ramadan atau April 2022 mendatang.
Sarmuji menilai kesadaran masyarakat terkait penerapan protokol kesehatan (prokes) sudah makin baik. Hal itu ditunjukkan dari beberapa kali pihaknya turun ke masyarakat. “Melalui forum ini saya mengusulkan, baik sebagai anggota DPR RI maupun sebagai Ketua Golkar Jawa Timur, kalau bisa sebelum Ramadan, PPKM ini sudah bisa dicabut,” ujar Sarmuji, belum lama ini.
Dia punya alasan kenapa PPKM ini harus segera dicabut. Antara lain, pemerintah sudah bisa mengatasi pandemi ini dengan baik. “Varian Omicron ini, BOR (bed of rate) di rumah sakit juga turun. Orang yang terpapar Corona sebenarnya sudah melewati puncak pada waktu varian Delta dulu,” kata Sarmuji.
Menurutnya, penghentian status PPKM sebelum Ramadan agar umat Islam bisa beribadah tanpa khawatir melanggar. “Agar juga rakyat bisa berziarah dengan tenang di pusara orang tuanya. Dan, jika Idul Fitri tiba, rakyat bisa bermohon maaf bersama orang tua dan keluarganya,” katanya.
Namun ia juga mengimbau kepada masyarakat agar tetap mematuhi prokes seperti biasanya, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan. “Karena varian Omicron ini memang lebih cepat dari segi penularan. Hanya saja meskipun yang terpapar makin banyak, yang masuk rumah sakit ternyata terbukti sedikit,” katanya.
Begitu juga dengan yang meninggal dunia karena varian Omicron, menurut data dari pemerintah sudah makin sedikit. Kalaupun ada yang wafat lebih banyak disebabkan faktor komorbid atau penyakit penyerta. “Jadi kalau PPKM dicabut, yang perlu dibatasi adalah orang-orang dengan komorbid. Dibatasi gerakannya, diimbau untuk selalu hati-hati sampai Covid-19 ini bisa teratasi tuntas,” katanya.
Pemulihan Ekonomi
Pemerintah patut mempertimbangkan usulan tersebut. Selain alasan kesehatan dan kesadaran masyarakat yang makin baik dalam menyikapi pandemi, alasan ekonomi juga tidak kalah urgen. Selama dua tahun pandemi Covid-19, bukan hanya anggaran negara banyak tersedot untuk program pencegahan dan penanganannya, tetapi ekonomi masyarakat juga terpuruk.
Banyak orang menganggur dan kemiskinan meningkat. Data-data resmi maupun kondisi riil di lapangan menunjukkan hal itu. Kalau kita perhatikan pemandangan umum di desa maupun di kota, banyak warung makan terpaksa tutup. Rumah-rumah, toko-toko, dan gudang-gudang produksi banyak yang dijual. Meskipun begitu, penjualan properti juga menurun karena sedikit pembeli.
Kondisi umum masyarakat cukup menyedihkan. Didera oleh kesulitan ekonomi selama dua tahun membuat tabungan menipis atau habis sama sekali. Satu-satunya yang menyelamatkan banyak keluarga di negeri ini adalah bantuan kerabat dan solidaritas masyarakat. Beruntung budaya gotong royong dan ajaran Islam tentang infak dan sedekah sangat membantu warga miskin.
Program bansos dari pemerintah sendiri tidak mampu menjangkau seluruh warga yang menjadi sasaran. Selain karena kelemahan administrasi kependudukan, keterbatasan anggaran dan juga penyimpangan anggaran bansos, besaran bansos itu tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok harian pun tidak.
Sebagai perbandingan, banyak warga masyarakat di negara-negara Eropa yang makmur pun sudah tersedot tabungannya karena pandemi. Sebuah survei di Inggris menyebutkan, sekitar dua pertiga tabungan masyarakat habis akibat kemerosotan ekonomi. Di Indonesia, menurut ekonom Faisal Basri, sebagian besar penduduk masuk dalam kategori miskin.
Hanya kalangan pejabat tinggi yang justru naik pendapatannya selama pandemi. Menurut data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diumumkan oleh KPK, para pejabat tinggi dari presiden hingga para menteri, anggota DPR dan gubernur, rata-rata pendapatan mereka naik Rp 1 miliar lebih selama pandemi.
Setelah terpuruk selama dua tahun, masyarakat yang umumnya harus membiayai sendiri kesehatan mereka – termasuk membeli masker, obat-obatan, dan vitamin – memerlukan ruang gerak dan kebebasan yang lebih longgar untuk memulihkan ekonominya. Jika pemerintah tidak mampu memfasilitasi pemulihan ini, setidaknya dapat menyiapkan regulasi dan iklim pendukungnya.
Mencabut PPKM seperti yang diusulkan Sarmuji adalah salah satu dukungan iklim yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Keputusan ini akan menunjukkan komitmen pemerintah yang pro-rakyat dan sekaligus menepis segala kecurigaan yang mengiringi penanganan covid di negeri ini, seperti ada cuan di balik vaksin, swab, dan PCR.
Ramadan dan Idu Fitri adalah momentum penting bagi pemulihan ekonomi masyarakat. Sarmuji sudah betul ketika menyebutkan warga butuh keleluasaan untuk beribadah dan bersilaturahmi selama Ramadan dan Idul Fitri. Namun, selain kepentingan ibadah, Ramadan dan Idul Fitri adalah juga booming rezeki bagi masyarakat. Sebelum pandemi, banyak pengusaha yang hanya jualan saat Ramadan bisa untuk hidup selama setahun.
Kasus Kota Tegal
Pemerintah pusat bisa mengambil kasus Kota Tegal sebagai pelajaran untuk mempertimbangkan pencabutan PPKM. Ini adalah kasus kebijakan lokal yang nyata-nyata merupakan anomali di tengah pandemi.
Saat awal pandemi, Kota Tegal termasuk yang pertama berani memberlakukan lock-down tanpa mengindahkan kebijakan pusat dan alasan yang substansial. Lock-down yang tanpa konsekuensi tanggung jawab pemerintah setempat. Akhirnya efek dari lock-down itu pun nyaris tidak ada, kecuali munculnya baliho-baliho “Mr. Lockdown”.
Selama masa vaksinasi, Kota Tegal dipenuhi spanduk-spanduk “wilayah wajib vaksinasi” dan “belum vaksin dilarang masuk toko” untuk spanduk-spanduk yang banyak terpasang di depan pertokoan. Jelas spanduk-spanduk ini tidak digubris oleh pemilik toko. Mana ada pemilik toko yang ingin membatasi pembeli? Tidak lama kemudian muncul baliho “Mr. Vaksinator”.
Ketika Kota Tegal ditetapkan sebagai daerah PPKM level 3, kawasan alun-alun kembali ditutup dengan portal yang digembok selama sebulan dari tanggal 9 Februari hingga 10 Maret 2022. Padahal, Inmendagri Nomor 5 Tahun 2022 hanya menetapkan pengetatan (bukan pembatasan) dari tanggal 8 hingga 14 Februari 2022. Setelah lewat tanggal 10 Maret pun alun-alun masih ditutup.
Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak ada kesadaran sama sekali bahwa kebijakan itu sejatinya tidak sesuai dengan regulasi yang ada, tidak mempertimbangkan kepentingan warga, tidak mendukung upaya pemulihan ekonomi, dan menjadikan revitalisasi kawasan alun-alun tidak ada manfaatnya. Ringkasnya, tidak ada sense of crisis dan sense of belongingness.
Pandemi adalah sebuah krisis global yang merambah sampai ke tingkat lokal. Itulah cara Tuhan mencabut kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dunia akibat dosa-dosa manusia. Tujuannya agar manusia sadar, bertobat, dan kembai ke jalan-Nya. Agar para pemimpin betul-betul memikirkan rakyatnya, tidak meneruskan kezaliman struktural terhadap rakyat yang lemah.
Penutupan kawasan alun-alun selama pandemi, apa pun alasannya, adalah sebuah arogansi kekuasaan yang menutup mata terhadap kenyataan di lapangan. Bahwa di situ ada banyak warga yang butuh akses untuk bertahan hidup. Bahwa di situ ada masjid milik jamaah serta pertokoan dan hotel milik privat. Bagaimana Pemkot Tegal memberlakukan kebijakan sepihak tanpa persetujuan warga?
Sudah banyak kerugian moril dan materiil yang diderita warga kawasan alun-alun Kota Tegal. Puluhan miliar rupiah kerugian para pemilik toko dan pedagang yang sudah dikalkulasi. Siapakah yang harus mengganti kerugian tersebut? Siapakah sebenarnya yang diperangi, pandemi atau warganya sendiri? Bukankah Tuhan telah memberikan kecerdasan untuk mengatasi masalah? Jika pemerintah tidak mampu menyejahterakan warganya, setidak-tidaknya janganlah mematikan kesejahteraan mereka.
Kasus di Kota Tegal ini memberikan pelajaran tentang tanggung jawab sebenarnya dari sebuah pemerintahan. Bahwa tugas utama pemerintahan adalah melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Kita tidak perlu bertanya lagi kepada Adam Smith soal ini, karena sebagai umat beragama kita mengetahui amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak.
—
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post