Dahulu kala, di Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, pernah berjaya sebuah keluarga keturunan Tionghoa. Keluarga tersebut mendirikan sebuah pabrik tapioka yang cukup tersohor di daerah tersebut, bahkan sampai keluar daerah, bernama NV Hogwan.
Sudah barang tentu hal itu kemudian membuat para penduduk berbondong-bondong ingin mengadu nasib di pabrik yang berlokasi di dua tempat, yaitu di Desa Dukuhturi dan di Desa Jatisawit tersebut.
Dikutip dari buku Galuh Purba – Antologi Cerita Rakyat Brebes Selatan (2018), cerita di balik pabrik NV Hogwan sangat beragam dan berkembang dengan berbagai versi. Bukti fisik peninggalan pabrik itu hingga sekarang pun masih dapat dinikmati, yakni berupa bangunan tua yang berdiri kokoh di Desa Jatisawit, disebut Crustine.
Pabrik tapioka yang berlokasi di Desa Jatisawit cukup luas dan tertata. Pabrik itu mempunyai sebuah cerobong asap besar yang berfungsi sebagai tempat pembakaran. Bagian atas dilengkapi dengan penangkal petir.
Pabrik tersebut mengalami gulung tikar ketika terjadi alih kekuasaan pemerintahan. Ada yang mengatakan bahwa selama alih ke kuasaan, terjadi kerusuhan dan menyebabkan puluhan orang, termasuk keturunan Tionghoa, baik pemilik ataupun pegawai, mengalami pembantaian dan dibuang ke sumur tua dekat pabrik.
Jika ditelusuri, sumur yang diperbincangkan sebagai tempat pembuangan tersebut berlokasi di belakang SD Negeri Jatisawit 1. Kini sumur tersebut sudah diratakan karena dibangun toko bahan bangunan.
Beberapa cerita yang beredar meyakinkan pernyataan tersebut. Di antaranya adalah penampakan banyak perempuan cantik berpakaian bangsawan yang duduk di atas sumur. Ada pula perempuan cantik yang dulu kerap terlihat di lorong jalan antara sekolah dan SPBU.
Cerobong asap tempat pembakaran juga sering kali dikaitkan dengan hal mistis. Banyak warga yang mengatakan bahwa tempat itu sebagai rumah kalong wewe atau wewe gombel karena dulu memang sangat gelap dan tak ada penerangan.
Para orang tua tentu memanfaatkan hal tersebut untuk menakuti anak-anak mereka agar tidak bermain di luar rumah selepas petang.
Lalu, apa yang menjadikan Crustine justru disebut sebagai lambang kejayaan?
Di tahun 2000-an, pada saat musim hujan, banyak anak-anak asyik bermain di sekitar bangunan tua tersebut. Mereka tidak mengindahkan larangan dari para orang tua mereka, dan terus bermain hingga terdengar suara petir yang tiba-tiba menggelegar sangat keras. Semua anak berlarian pulang ke rumah masing-masing.
Anehnya, setelah anak-anak pulang ke rumah, hujan berhenti seketika. Namun, kilatan petir kembali terlihat dan menyambar kencang bangunan tua yang menjulang tinggi hingga meretakkan bagian atasnya.
Akan tetapi, bangunan yang mirip dengan tugu monas tanpa emas itu tetap berdiri kokoh. Tidak ada korban atau kejadian serius yang mengiringi. Sejak peristiwa sambar petir itu, masyarakat menganggap Crustine adalah tugu penyelamat.
Nama Crustine bahkan digunakan menjadi nama klub sepak bola pemuda Jatisawit yang juga berjaya pada zamannya. Kini Crustine masih berdiri kokoh walaupun pabrik tapioka itu telah diratakan dan berganti dengan perkampungan padat. (*)
Editor: Muhammad Abduh
Discussion about this post