BREBES, Panturapost.com – Banjir, bagi sebagian warga Desa Terlangu, Brebes, menjadi hal yang tidak asing lagi. Jauh sebelum banjir yang melanda desa tersebu Kamis kemarin, mereka ternyata sudah mengalaminya 21 tahun silam.
Tahun 1996, bisa jadi menjadi tahun menggembirakan bagi ratusan warga di Dukuh Kulon, Desa Terlangu, Kecamatan Brebes. Sebab, sejak saat itu, penduduk setempat terbebas dari bayang-bayang luapan air Sungai Pemali yang letaknya hanya tak sampai satu kilometer dari tempat tinggal mereka. Sebuah tanggul setinggi 5 meter dan lebar 5 meter telah berdiri membentengi luapan air dari sungai terbesar di Brebes itu.
Baca juga: BREBES BERDUKA: Tanggul Sungai Pemali Jebol, 12 Desa Terendam
Durja, 70 tahun, masih ingat betul, kondisi desanya sebelum tanggul itu dibangun. Awal tahun seolah menjadi momok menakutkan bagi penduduk setempat. Hampir setiap tahun pada Januari-Februari rumahnya terendam banjir. “Ya dari mana lagi kalau bukan dari luapan sungai pemali,” kata dia saat berbincang dengan Panturapost.com di sebuah pos ronda di pertigaan desa setempat, Sabtu, 18, Februari 2017.
Warga setempat selalu ketar-ketir, jika mendapat kabar hujan di wilayah Brebes Selatan cukup deras. Durja saat itu hanya bisa pasrah dan berharap tidak ada kiriman air dari selatan dan membuat sungai pemali meluap. “Tapi ya tetap saja meluap. Dan itu terjadi setiap tahun,” kata dia.
Dia bersyukur, sejak dibangunnya tanggul di desanya, banjir tak lagi merendam rumahnya. Hingga akhirnya, musibah itu datang, pada Rabu malam, 15 Februari 2017, debit air Sungai Pemali terus meninggi. Saat itu warga sebenarnya sudah mengetahui tanda-tanda pemali akan meluap. “Sudah ada air yang masuk ke jalan,” ujar dia.
Puncaknya, pada Kamis pagi sekitar pukul 05.00 WIB, air semakin meninggi hingga merendam rumah-rumah warga. Lalu apa yang dilakukan oleh Durja? “Saya di sini saja, enggak mengungsi,” ujar dia.
Baca juga: Banjir Brebes Berangsur Surut, Warga Mulai Tinggalkan Pengungsian
Warga lainnya, Winjun, 50 tahun, juga melakukan hal yang sama. Mereka enggan mengungsi seperti warga-warga lainnya, lantaran merasa sudah terbiasa dilanda banjir. “Dulu malah lebih parah sampai satu pekan. Kalu ini sehari sudah surut, banjir pagi sorenya sudah mulai surut,” ujar dia.
Kendati begitu, banjir tetaplah banjir, yang membikin mereka tidak bisa beraktivitas. Mereka tetap kedinginan dan kelaparan karena tidak bisa memasak. Pasokan makanan saat itu juga tidak sampai ke sana karena aksesnya yang sulit dijangkau. “Kalau sekarang sudah surut, aktivitas sudah berangsur normal, meski sampai sekarang kami juga belum mendapatkan bantuan,” kata dia. (Rhn)
Discussion about this post