BREBES, Panturapost.com – Deretan rumah di perbukitan itu berdiri tak beraturan. Sejumlah warga asyik bercengkrama di teras rumah yang terbuat dari kayu dan batu tersebut. Sekilas, suasana perkampungan itu tidak jauh berbeda dengan desa-desa terpencil di daerah lainnya. Namun, jika dilihat lebih dekat, rumah-rumah tersebut tidak ada yang menggunakan bahan semen dan keramik. Mereka menggunakan papan lempengan kayu untuk dinding, dan seng untuk atapnya. Bahkan, bahan untuk water closset (WC) pun menggunakan kayu.
Kampung itu bernama Jalawastu. Terletak di Desa Ciseureuh, Kecamatn Ketanggungan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Masyarakat di pedukuhan yang letaknya berada sekitar 70 kilometer dari pusat kota Brebes ini, masih memegang teguh tradisi yang mereka anut. Membangun rumah dengan menggunakan semen, keramik, dan genteng, adalah pantangan bagi mereka. Pantangan itu sudah diyakini oleh masyarakat setempat selama ratusan tahun secara turun temurun.
Menurut Dastam, 53 tahun, pemangku adat desa setempat, masyarakat meyakini membangun rumah tanpa menggunakan semen dan keramik bisa mencegah terjadinya bencana longsor. Mengingat, desa tersebut terletak di perbukitan bernama gunung kumbang. Alasan lainnya terkait dengan letak geografis DukuhJalawastu, yang jauh dari peradaban. “Jadi dulu semen dan keramik itu salah satu barang yang wah, lalu belinya juga jauh, mengangkutnya susah. Maka orang sini akhirnya menyebut ‘udah pamali’ gitu aja,” jelas Dastam, Jumat,18 November 2016.
Kayu yang mereka gunakan untuk membangun rumah juga bukan sembarang kayu. Ada dua jenis kayu yang mereka pakai, yaitu Kayu Cangcaratan dan Kayu Kitambaga. Dua kayu tersebut, kata Dastam termasuk kayu yang kuat, anti air dan tidak mudah lapuk. Selain itu, dua kayu jenis tersebut mudah didapatkan di sekitar Dukuh jalawasti. “Tetapi harus selektif, boleh ditebang tapi syaratnya untuk membangun rumah sendiri. Tidak boleh untuk dijual,” kata dia.
Hingga saat ini, kampung yang dihuni oleh 350 jiwa dan 120 keluarga ini, rumah-rumahnya tanpa menggunakan bahan semen dan keramik. Di desa tersebut, kita juga tidak bisa menemukan genteng untuk atap rumah. Mereka menggunakan seng untuk menutupi bagian atas rumah. Menurut Dastam, Genteng juga termasuk salah satu benda yang sulit didapatkan. Warga saat itu menggunakan jerami untuk atap rumah. Sebab, jerami cukup menghangatkan saat malam hari. “Nah sekarang, sudah tidak pakai jerami lagi, dan diganti seng. Karena seng fungsinya hampir mirip dengan jerami,” kata dia.
Tak hanya itu, masyarakat sekitar juga dilarang mementaskan wayang, memelihara angsa, domba, dan kerbau, serta menanam bawang merah. Mementaskan wayang, menurut Dastam, tidak diperbolehkan lantaran berkaitan dengan memainkan peran manusia. Sedangkan memelihara hewan tertentu dilarang karena dianggap mengotori lingkungan. “Kalau larangan menanam bawang merah itu karena di sini lahannya tidak cocok, daripada merugikan,” jelas Dastam.
Salah seorang warga setempat, Carmi, 50 tahun, mengaku tidak berani melanggar pantangan-pantangan tersebut. Sebab, kata dia, pada sekitar 2000 lalu ada seseorang yang mencoba melanggar salah satu pantangan tersebut, lalu timbul bencana. “Waktu itu langsung longsor,” kata dia. Carmi menambahkan, warga yang ingin membangun rumah menggunakan semen, diperbolehkan asalkan pindah ke kampung sebelah. (Rhn)
Discussion about this post