NASIB pedangdut mulai terpojokkan ketika merebak budaya sawer bertebar di panggung-panggung musik dangdut menampakkan wajah-wajah biduan berdandan menor dengan goyang aduhai.
Goyang aduhai seringkali mengundang kaum lelaki berbuat nakal dalam bingkai kebinalan. Belum lagi bila sang biduan makin seronok dan celoteh saru adalah nuansa ‘meong’ mewarnai joget pagelaran musik dangdut.
Situasi demikian membawa penonton semakin bersemangat begitu melihat polah biduan mengubah busananya dan memahami phisikologi massa, telah kuasa membangkitkan keprimitifan syahwati para lelaki hidung belang.
Untuk mencapai suasana berbau cabul, kenyal, dan bergelora, seorang biduan dangdut mengawalinya dengan mengenakan busana serba minim dan menantang. Pilihan lagu pun dihentak dengan irama rancak bersama goyang erotis yang disuguhkan amat memancing orang yang sebelumnya adem ayem sekonyong-konyong geregetan.
Pada saat itulah para pejoget biasanya kian tenggelam dan tersihir oleh gerakan seronok sang biduan. Naiklah kemudian mereka meladeni joget biduanita di atas panggung. Dari sinilah budaya sawer mulai dikibarkan penuh gelagat seronok, meong, ser, dan budaya sawer seakan menjadi kewajiban dalam pemanggungan dangdut.
Apa itu sawer? Dalam budaya musik dangdut, sawer artinya tip atau tambahan penghasilan bagi biduan dangdut di luar honor yang ia terima dari pihak penanggap. Celakanya, saat sawer menjadi ‘makanan wajib’, seorang yang berkantong tebal akan memperlakukan sang biduan untuk bertindak lebih jauh.
Mereka tidak hanya sekadar goyang di atas panggung, malah bakal berlanjut goyang ser yang sesungguhnya dalam suasana remang-remang dan penuh desah.
Sungguh! Budaya ini mengingatkan kita pada dunia tandhak, ledhek, ronggeng atau penari tayub pada masa lampau. Pada jagat ledhek atau ronggeng, aroma mesum cukup kental berbareng dengan masalah sawer atau kondangnya disebut ‘uang kemben’, merupakan ‘uang bonus’ yang dihadiahkan pengibing atau lelaki yang mbekso (menari) untuk ledhek. Biasanya, uang kemben itu diselipkan para pengibing ke dalam kutang ledhek.
Dalam jagat ledhek, tandhak atau ronggeng, tidak ada istilah berebutan. Semua menjadi wajar-wajar saja dan mafhum. Karena apa? Tandhak adalah milik siapa saja sekaligus sebagai ‘pemangku kelelakian’. Dalam pada itu terjadilah sistem penilaian terhadap dunia ledhek dan ronggeng. Ia bukan lagi merupakan sosok mulia karena sebagai ‘pemangku kelelakian’, sosok yang dikagumi sebagian kaum lelaki. Sosok yang bikin banyak lelaki mabuk kepayang dan merengek-rengek seperti bayi minta susu ibunya. Mereka lebih berpendapat bahwa dunia ledhek dan tandhandak atau ronggeng itu tak ubahnya bentuk lain dari dunia morat-marit tata nilai moralnya. Kasarnya, dunia hitam nista, amburadul, dan bahkan menjadi semacam musuh dunia perempuan ‘somahan’ (rumah tangga), perempuan yang meyakini bahwa pernikahan adalah sakral.
Seperti halnya selebritis, menjadi ronggeng dan ledhek pun, tidak sembarang wanita dengan mudahnya ‘nyemplung’ ke dunia itu. Wajah cantik dan tubuh sintal menjadi modal penentu untuk merangsang kaum lelaki. Ditambah lagi sedikit keahlian menembang dengan iringan gamelan dan menari Jawa. Bergenit-genit adalah penampilan yang dibutuhkan.
Jika modal utama sudah dipunyai, para calon ronggeng atau ledhek perlu magang pada yang sudah senior. Pada saat magang dan sang guru ada tanggapan, mereka mulai mempraktekan aneka ragam gendhing, bermacam tembang Jawa, merias diri, dan musti belajar mencicipi minuman keras mulai dari bir, tuak sampai arak, dan jenis minuman memabokan lainnya. Hal semacam itu tidak bisa dihindari karena seorang ledhek atau ronggeng harus meladeni para tamu pengibing. Dipastikan para tamu menenggak minuman berakohol hingga tidak jarang mereka teler berat, dan pada akhirnya para calon ledhek atau ronggeng itu mahir ‘memangku kelelakian’ pengibing. Begitulah proses menjadi ronggeng atau tandhak seperti tertuang pada novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari.
Banyak berita miris yang dialami oleh sang biduan kedapatan melakukan hubungan gelap. Kisah seronok dan cabul tersebar di media-media massa. Tidak sedikit fenomena sawer, bersentuhan dengan atmosfer kemesuman dan ‘meong’.
Budaya sawer yang sekarang membudaya, mulanya berkembang di dunia musik dangdut dari diskotik-diskotik ibukota. Budaya tersebut berangkat dari biduan dangdut yang menginginkan tambahan penghasilan kemudian sejalan dengan perkembangan dangdut dan orjen tunggal, budaya sawer akhirnya mecandu dan menjadi patokan utama. Parahnya, di saat seperti itu ada sebagian pedangdut tidak lagi mengandalkan kualitas vokalnya, melainkan daya tarik keseniannta telah digeser dengan mengeksploitasi penampilan rada-rada binal dan menjurus kemesuman demi uang sawer yang mereka kejar! (*)
Discussion about this post