TEGAL – Wicaksono Wisnu Legowo, sutradara muda asal Kota Tegal baru saja menggarap film yang mengangkat tema lokal. Film berjudul “Turah” yang digarapnya mengangkat kehidupan warga di Kampung Tirang, Tegal yang miskin dan tertinggal. Sebuah kampug yang berdiri di tanah timbul di Pesisir Pantai Kota Tegal.
Dalam film ini, Wisnu menjelaskan fakta soal kesenjangan sosial yang ada di kampung tersebut dengan rapi dan apik. Kampung yang jaraknya cukup dekat dengan pusat Kota Tegal ini bisa dibilang tak tersentuh listrik. Bahkan, warga kerap sekali kesulitan air bersih. Ironi itu digambarkan Wisnu dengan baik. Rumah reot, pakaian lusuh, dan lingkungan yang kumuh, memperjelas kesenjangan di kampung tersebut.
Akibat kesenjangan itu, konflik sosial pun terjadi. Melalui tokoh, Jadag (Slamet Ambari), pria yang dikenal sebagai pemabuk ini melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan. Dia tak terima tanah kelahirannya diklaim oleh seorang juragan bernama Darso (Yon Daryono). Sebagai orang yang mengkalim memiliki tanah timbul tersebut, Darso mempekerjakan warga Kampung Tirang seperti budak dan memberi mereka upah rendah.
Jadag menilai apa yang dilakukan oleh Darso adalah bentuk kesewenang-wenangan. Menurutnya, Darso telah memanfaatkan warga kampung demi kepentingannya sendiri untuk memperkaya diri. Apalagi, sejak Pakel (Rudi Iteng) menjadi tangan kanan Darso, tenaga warga makin diperas habis.
Di saat hidup warga Kampung Tirang yang terus dilanda kemiskinan, Pakel yang baru bekerja tiga tahun untuk Darso sudah punya tanah dan rumah mewah. “Apa karna Pakel kue wong sekola (Apa karena Pakel itu orang yang berpendidikan). Nyong ngarti Darso kue dibodoni tok (Saya tahu Darso itu dibohongi sama Pakel),” demikian penggalan dialog Jadag dalam film tersebut.
Lakon Turah (Ubaidillah), dalam film itu berperan sebagai orang yang dipercaya oleh Darso menjaga Kampung Tirang. Turah dengan gaya hidupnya yang sederhana dan tidak neko-neko, selalu menerima apa adanya pemberian dari Darso. Dia sendiri tinggal di gubuk reyot bersama istrinya, Kanti (Narti Diono). Dalam cerita film itu, Turah bisa disebut sebagai penyeimbang dari sikap Jadag yang frontal. Turahlah yang selalu mengingatkan Jadag agar tidak melawan.
Namun, bukan Jadag namanya jika tidak melawan. Suatu ketika, emosi Jadag sudah sampai ubun-ubun. Dia berteriak ditengah kampung dan memberitahu kepada warga agar jangan mau dipermainkan oleh Sang Tuan Tanah.
“Duit sing nyong sampean olih kue dudu pecingan saka Darso, apamaning sodakoh apa infake Darso, kue duit mau kue duit bagen sampean kabeh, sebabe nyambut gawe. Dadi kue upaeh. (Duit yang kalian terima itu bukan uang Cuma-Cuma atau sodakohnya Darso. Tetapi duit itu adalah upah karena kalian bekerja. Jadi itu upahnya),” kata Jadag dengan nada tinggi kepada warga kampung.
Protes yang dilakukan Jadag rupanya membuat Sang Juragan murka. Kemarahan itu sampai membuat dia tidak berkenan lagi mengirim uang dan kebutuhan pokok ke Kampung Tirang. “Ngomong karo Pakel, mulai saiki, ora usah ngirim apa-apa maning maring Kampung Tirang(Bilang ke Pakel, mulai sekarang jangan kirim apa-apa lagi ke Kampung Tirang,” kata Darso kepada salah seorang pemuda yang biasa membantu Pakel.
Perlawanan rakyat jelata kepada penguasa itu akhirnya menelan korban. Ya, Jadag dibunuh oleh anak buah Darso pada malam hari di tengah hujan yang deras.
Warga Kampung Tirang tidak ada yang tahu peristiwa itu, kecuali Turah. Karena itu, lantaran diancam, Turah malam itu juga mengajak istrinya pergi dari tanah kelahirannya. Warga hanya tahu Jadag meninggal karena bunuh diri, setelah keesokan harinya dia ditemukan menggantung di pohon dekat rumahnya. (MUHAMMAD IRSYAM FAIZ)
Discussion about this post