JAKARTA, Panturapost.com – Anggota Komisi 9 DPR RI Dewi Aryani menanggapi maraknya pil berbahaya jenis PCC yang baru-baru ini beredar di kalangan remaja di Kendari, Sulawesi Tenggara. Anggota fraksi PDIP itu meminta agar semua Apotek dan toko obat diaudit.
“Maraknya kasus peredaran obat terlarang saat ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Baru-baru ini terjadi kasus peredaran PCC hingga menyebabkan beberapa orang korban meninggal dunia bahkan dicurigai obat tersebut mengandung bahan berbahaya,” kata Dewi dalam keterangan tertulisnya kepada Panturapost.com, Sabtu, 16 September 2017.
Sebagaimana diketahui, obat PCC merupakan obat yang mempunyai kandungan bahan aktif generik. PCC terdiri paracetamol atau acetaminofen + caffeine + carisoprodol. Tiga komponen obat tersebut masing-masing memberikan efek kerja yang berbeda namun saling berkaitan untuk mendukung masing-masing efek kerja obat.
Kasus di Kendari, kata Dewi, yang jadi masalah adalah obat tersebut diketahui beredar tanpa ijin BPOM dan dijual bebas. Pemerintah, dalam hal ini kepolisian, BPOM dan kemenkes menurut dia harus segera melakukan investigasi menyeluruh siapa yang memproduksi obat tersebut.
Dia mempertanyakan, kenapa obat yang dikategorikan terlarang itu bisa di konsumsi secara massal dan diperjualbelikan bebas. “BPOM harus segera melakukan audit ke seluruh apotek dan toko obat. harus dicek ijinnya, jenis obat yg dijual belikan, dan lainnya. Ini supaya peredaran obat terlarang bisa diantisipasi,” jelasnya.
Saat ini, lanjut Dewi, pemerintah telah menetapkan aturan bahwa obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Ini sebagaimana Pasal 106 ayat [1] Pasal 1 ayat [4] Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Sehingga, jika ada apotek atau toko obat yang mengedarkan obat tanpa izin edar, berarti telah melanggar Pasal 197 UU 36/2009. Dimana, dalam pasal itu disebutkan ada larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
“Larangan untuk mengedarkan obat bagi pihak yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan ini juga dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU 36/2009,” jelas Dewi. (Rhn)
Discussion about this post