LAZIMNYA suasana hari raya diwarnai gema takbir, zikir, ketaatan, keikhlasan, dan silaturahmi dengan semangat saling memaafkan. Idul Adha 1443 H juga seharusnya mampu meningkatkan semangat kita dalam meneladani ketaatan Nabi Ibrahim dan keikhlasan Nabi Ismail. Idul Qurban adalah momen universal bagi manusia untuk “menyembelih” ego dan ambisi pribadi demi kemajuan kemanusiaan dan peradaban dunia.
Namun suasana Idul Qurban hari-ini ini di Indonesia terasa lebih banyak ditarik ke pemanasan tahun politik. Publik lebih tertarik memperbincangkan isu-isu politik daripada pesan-pesan kemanusiaan universal dari perayaan Idul Qurban. Di samping kisah keluarga Ibrahim mungkin sudah dianggap membosankan, karena penyampaian oleh khotib yang literer dan kurang mendalam, isu-isu politik mutakhir dianggap menggoda.
Isu paling gres adalah dugaan penyimpangan dana umat di lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dimulai dari friksi internal, ACT yang sudah menjadi lembaga filantropi global akhirnya dicabut izin pengumpulan uang dan barang (PUB)-nya oleh Kemensos dan menghadapi tuduhan yang serius.
Oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada aliran uang ACT yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme. Meskipun bukan kewenangan langsung PPATK, badan yang bertugas mengawasi aliran uang ini menyebut bahwa seorang pengurus ACT termasuk dalam 19 orang yang ditangkap di Turki karena terkait Al Qaedah. Untuk itu, PPATK telah membekukan 60 rekening ACT.
Kalangan pimpinan DPR meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mengusut dugaan tersebut, bila perlu melibatkan Densus 88. Namun pihak BNPT sendiri mengatakan, ACT belum masuk dalam daftar terduga terorisme atau organisasi terorisme, sehingga membutuhkan pendalaman dan koordinasi dengan stakeholder terkait dalam menentukan konstruksi hukumnya.
Bias dan Politisasi
Kasus ACT ini bermula dari laporan investigasi majalah Tempo edisi Sabtu, 2 Juli 2022, bertajuk “Kantong Bocor Dana Umat”. Laporan itu menyebutkan ada penyimpangan dan penyalahgunaan dana donasi. Antara lain, pendiri dan presiden pertama ACT Ahyudin menggaji dirinya hingga Rp 250 juta per bulan. Selain itu, dana donasi juga digunakan untuk membeli mobil-mobil dinas dan perabotan rumah yang mewah.
Presiden ACT Ibnu Khajar selain menjelaskan bahwa gaji Rp 250 juta memang ada sebelum pandemi, juga membantah tuduhan bahwa donasi digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme. Ibnu mengadakan jumpa pers setelah munculnya pemberitaan Tempo dan secara tidak langsung dia membuka adanya konflik kepentingan yang berlangsung di ACT. Dia menyebut Ahyudin otoriter dan menjalankan manajemen organisasi yang kurang baik.
Sampai di situ persoalannya jelas, kasus ACT ini sejatinya muncul akibat pengelolaan dana donasi yang kurang kredibel. Itu pun berlangsung pada masa kepemimpinan Ahyudin. Namun persoalan kemudian melebar ketika PPAT mengumumkan hasil penelusuran transaksi yang sudah konon dilakukan jauh sebelum kasus itu muncul. Apalagi dari penelusuran itu muncul dugaan aliran dana ke kegiatan terorisme. Bias dan politisasi kasus langsung merebak dengan dikait-kaitkannya sejumlah pihak pada kegiatan ACT dan masuknya opini dari kalangan buzzer di media sosial.
Beberapa pihak yang dikaitkan dengan kasus itu adalah PKS dan Anies Baswedan. Ada disebut pimpinan MPW PKS Banten yang menjadi ketua Dewan Pengawas ACT dan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta yang menjalin kerja sama program dengan ACT. Abu Janda yang dikenal sebagai buzzer pendukung pemerintah dan dikenal sebagai orang yang kebal hukum, mengedarkan video pidato Anies terkait ACT, namun kata “tak” dalam kalimat “tak bermotif profit” dihilangkan.
Artinya, berbagai video editan dan opini hoaks telah bercampur menjadi satu dalam geger kasus ACT ini. Biasanya, viralisasi dan kesimpangsiuran informasi ini disengaja untuk mengaburkan atau mengalihkan perhatian publik dari kasus lain. Namun yang jelas, dampak langsungnya sudah terjadi, yakni menurunnya kepercayaan masyarakat pada lembaga pengumpul dan penyalur dana umat. Kemudian muncul imbauan agar dana masyarakat disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi dan lembaga yang dikelola pemerintah.
Adakah persaingan di antara sesama lembaga filantropi? Mungkinkah ada agenda tersembunyi untuk menghantam dan meminggirkan lembaga-lembaga filantropi swasta agar digantikan oleh lembaga pemerintahan? Hal ini tentu membutuhkan penelusuran dan investigasi lebih lanjut.
Kredibilitas Media
Dampak lain yang tidak terduga adalah viralnya tulisan kesaksian seseorang yang mengaku sebagai mantan wartawan Tempo. Sang mantan wartawan membeberkan dan membuka kedok “mafia pemberitaan” media-media besar seperti Tempo, Kompas, dan detik.com. Intinya, dia yang semula mengagumi kredibilitas Tempo akhirnya keluar setelah melihat dan mendengar sendiri praktik “mafia cuan” dari bargaining pemberitaan di lingkungan Tempo.
Dia menyebut media-media besar itu ternyata juga mempraktikkan gaya “wartawan bodrex” yang mencari uang lewat pemberitaan. Bedanya, “wartawan bodrex” hanya memburu uang receh, sedangkan Tempo dan media-media besar Ibu Kota lainnya bermain untuk mendapatkan uang besar.
Modusnya, dengan menyajikan berita buruk (bad news) atas seseorang, institusi, atau perusahaan untuk kemudian “diperas”. Atau mengancam akan mem-blow up dalam pemberitaan jika data negatif institusi atau perusahaan yang dipunyai oleh mereka tidak diganti dengan “dana pengamanan”.
Jika dugaan itu benar adanya, maka yang terjadi di balik kasus ACT ini adalah intrik politik dan bisnis yang sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, tidak terkecuali lingkungan media yang selama ini dihormati. Setidak-tidaknya oleh sebagian masyarakat yang masih berprasangka baik terhadap media.
Bagaimanapun, awal kemunculan kasus ACT yang dimulai dari laporan investigasi Tempo telah memukul balik jagat media di Indonesia. Kasus ini bukan hanya bisa membunuh karakter orang-orang tertentu yang mungkin tidak bersalah atau tidak terlibat dengan kebijakan dan operasional ACT, tetapi juga dapat menghancurkan kredibilitas media di Indonesia. Bukan hanya lembaga-lembaga filantropi yang menurun pemasukan donasinya, namun juga media-media kehilangan kepercayaan dari publik.
Inilah akibatnya jika hoaks dan fitnah dipakai sebagai cara untuk memenangkan ambisi politik dan bisnis. Cara-cara seperti ini sebenarnya bisa dideteksi dari framing opini yang dibangun, terutama dari siapa-siapa yang hendak “ditembak” dan siapa-siapa yang harus dilindungi dalam bunker. Lama kelamaan publik pun akan tahu kasus mana yang memang terjadi secara by accident dan kasus mana yang by design.
Yang disesalkan, geger ini terjadi bersamaan dengan hari-hari Idul Qurban yang semestinya mengajari kita kembali tentang urgensi pengorbanan untuk kemanusiaan, dengan cara menyembelih ego kita untuk kepentingan bersama. Itulah jika kecenderungan kita lebih dekat kepada karakter Qabil, bukan kepada Habil yang tulus imannya dan mempersembahkan kurban terbaik hanya untuk Allah SWT.
—
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post