(Hamdan ATT, “Termiskin di Dunia”)
JUMAT kemarin, 30 September 2022, sejumlah portal berita online menurunkan berita mengejutkan yang bersumber dari Bank Dunia. Judul-judul berita itu hampir seragam, yang intinya menginformasikan bahwa Indonesia masuk dalam daftar 100 negara termiskin di dunia.
Berita-berita itu mengutip World Population Review, yang menempatkan Indonesia masuk dalam urutan ke-73 negara termiskin di dunia. Pendapatan nasional bruto RI tercatat 3.870 dolar AS atau sekitar Rp 59 juta per kapita pada 2020. Sementara, laman Global Finance menempatkan Indonesia di urutan ke-91 negara paling miskin di dunia pada 2022.
Dasar perhitungan atau kriteria yang dipakai Bank Dunia adalah produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP) dan purchasing power parity (PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja. Tercatat, angka PDB dan PPP RI sebesar 14.535 dolar AS.
Pemeringkatan Bank Dunia didasarkan pada gross national income (GNI) atau pendapatan nasional bruto per kapita masing-masing negara. GNI sangat mirip dengan PDB per kapita. Kedua metrik mengukur nilai dolar dari semua barang dan jasa yang diproduksi di negara tertentu, tetapi GNI juga mencakup pendapatan yang diperoleh melalui sumber internasional (seperti investasi asing atau kepemilikan real estate).
Garis Kemiskinan Ekstrem
Dalam basis perhitungan terbaru, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari 1,9 dolar AS menjadi 2,15 dolar AS per kapita per hari. Dengan asumsi kurs Rp 15.200 per dolar AS, maka garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia adalah Rp 32.680 per kapita per hari atau Rp 980.400 per kapita per bulan.
Sebelumnya, garis kemiskinan ekstrem internasional ditentukan dengan penghasilan di level 1,90 dolar AS atau sekitar Rp 28.880 per orang per hari atau Rp 866.400 pr orang per bulan. Artinya, apabila penghasilan seseorang hanya mencapai sekitar Rp 32.000 per hari, maka orang tersebut dikategorikan dalam kondisi miskin.
Dengan acuan baru Bank Dunia tentang batas kemiskinan itu, maka sebanyak 13 juta warga kelas menengah bawah di Indonesia jatuh ke lubang kemiskinan. Itu diumumkan dalam sebuah laporan yang berjudul East Asia and the Pacific Economic Update October 2022.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan dua kriteria garis kemiskinan, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GKNM). Garis kemiskinan yang digunakan BPS pada Maret 2022 tercatat Rp 505.469 per kapita per bulan dengan komposisi GKM sebesar Rp 374.455 (74,08 persen) dan GKNM sebesar Rp 131.014 (25,92 persen).
Bank Dunia juga mengubah batas penghasilan kelas menengah ke bawah (lower middle income class) menjadi 3,65 dolar AS (Rp 55.480) per orang per hari, naik dari 3,20 dolar AS (Rp 48.640) per orang per hari. Adapun batas penghasilan kelas menengah ke atas (upper middle income class) naik dari 5,50 dolar AS (Rp 83.600) menjadi 6,85 dolar AS (Rp 104.120) per orang per hari.
Batasan baru ini membuat sebanyak 33 juta orang kelas ekonomi menengah ke bawah di kawasan Asia turun kelas menjadi miskin. Indonesia dan China menjadi negara dengan penurunan kelas menengah bawah dan atas terbanyak. Bank Dunia mencatat, kedua negara ini bersama-sama menyumbang lebih dari 85 persen peningkatan daerah dalam jumlah penduduk miskin.
Menanggapi laporan terbaru Bank Dunia itu, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta mengatakan, pemerintah setiap waktunya pasti akan selalu mengaji ulang nilai ambang batas garis kemiskinan sesuai dengan kondisi terbaru. Namun, Kementerian Keuangan tidak bisa memutuskan sendiri. Katanya, diperlukan koordinasi dengan instansi terkait lain untuk memperkuat data angka kemiskinan terbaru. Perlu rapat kabinet.
Sehari Makan Sekali
Berdasarkan kriteria BPS, maka seseorang dikategorikan miskin jika penghasilannya kurang dari Rp 505.469 per bulan atau Rp 16.848 per hari. Kriteria ini, sebagaimana diisyaratkan oleh Isa Rachmatawarta, jelas perlu diperbaharui lagi karena sudah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Angka patokan BPS sudah tinggal separo dari kriteria miskin yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Padahal, kriteria Bank Dunia yang jauh lebih tinggi itu masih disebut sebagai “garis kemiskinan ekstrem”, bagaimana dengan patokan BPS? Mungkin bisa disebut “garis kemiskinan super ekstrem” alias “sekarat”.
Coba bayangkan. Untuk kondisi saat ini, apalagi setelah inflasi bertambah dengan kenaikan harga BBM, siapakah orang Indonesia yang bisa hidup dengan penghasilan hanya Rp 16.848 sehari? Itu pun termasuk pengeluaran untuk keperluan lain-lain di luar makanan dan minuman. Sungguh suatu “hil yang mustahal”. Sebutan apakah yang lebih pas untuk orang yang sehari hanya makan sekali kalau bukan “sekarat”?
Untuk ukuran kebutuhan hidup di Jawa, Rp 16.848 hanya cukup untuk makan sekali dengan lauk yang sederhana. Kalau ingin sedikit lebih bergizi, misalnya tambah daging dan susu, Rp 16.848 tidak cukup. Itu di Jawa. Apalagi di luar Jawa yang harga-harga kebutuhan pokok biasanya lebih tinggi. Karena itu, wajar jika Bank Dunia menetapkan angka penghasilan Rp 32.680 per hari sebagai garis kemiskinan ekstrem.
Dalam menetapkan kriteria miskin, pemerintah hendaknya hanya mendasarkan pada aspek dan motif ekonomi semata, bukan pertimbangan politik. Kriteria itu harus bisa dipakai untuk menggambarkan kondisi senyatanya kehidupan rakyat kita, bukan untuk memberi kesan seakan-akan jumlah orang miskin telah menurun. Tanggung jawab utama pemerintah adalah menyejahterakan rakyat.
Pengorbanan Besar Rakyat
Pertambahan 13 juta rakyat yang menjadi miskin patut menjadi perhatian pemerintah. Apalagi setelah sebelumnya rakyat dihantam pandemi Covid-19, yang menurut ekonom Faisal Basri membuat 52,8 juta orang rentan miskin atau belum sejahtera. Artinya, orientasi kebijakan ekonomi pemerintah mesti diubah kalau ingin menyejahterakan rakyat.
Namun harapan itu tampaknya tidak akan terwujud. Pemerintahan di bawah Presiden Jokowi sudah terlanjur menetapkan dan membangun proyek-proyek infrastruktur besar yang tidak mungkin dihentikan atau dibatalkan. Termasuk proyek-proyek yang diragukan kemanfaatannya seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Itu belum termasuk sejumlah proyek bandara dan pelabuhan yang setelah dibangun tidak berfungsi.
Menurut Faisal, rakyat yang akan membayar kerugian proyek-proyek itu. Dia mencontohkan KCJB yang ongkosnya Rp 400 ribu sekali jalan, diperkirakan sampai kiamat tidak bisa balik modal. Biaya investasi untuk KCJB sebesar Rp 118,5 triliun, membengkak dari rencana awal Rp 28,5 triliun.
Hal itu yang membuat Faisal berkesimpulan, pemerintahan saat ini sangat boros bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan negara. Di sisi lain, pemerintah memotong anggaran sosial yang langsung berpengaruh pada kehidupan rakyat. Contoh terakhir adalah kenaikan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax yang bisa ditafsirkan pemerintah enggan mempertahankan pagu subsidi untuk rakyat.
Sudah nyata hasil dari kerja sama dan kolaborasi antara pemerintah RI dan China, yaitu kedua negara sama-sama menambah jumlah rakyatnya yang miskin. Hal ini karena kedua negara sama-sama jor-joran membangun infrastruktur tanpa keterkaitan langsung dengan pendapatan masyarakat.
Pemerintah juga dianggap tidak bermoral ketika banyak rakyat menjadi miskin, tetapi mereka bertambah kaya dengan kenaikan gaji. Jika para pejabat tinggi itu memang betul memikirkan kesejahteraan rakyatnya, minimal mempunyai empati terhadap kondisi kehidupan rakyat, mereka akan bersedia dipotong gajinya untuk disumbangkan kepada orang-orang miskin. APBN bisa saja tidak berpihak kepada rakyat, tetapi secara personal pemerintah bisa membantu rakyat.
Potongan lirik lagu dangdut Hamdan ATT di awal tulisan ini kiranya cukup menggambarkan keadaan yang kontras antara kehidupan para pejabat dan rakyat saat ini. Rakyat masih harus banyak berkorban agar negara tidak bangkrut.
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post