HANYA sebulan setelah PBB mencanangkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia atau International Day to Combat Islamophobia, di Indonesia muncul narasi seorang profesor yang membenci simbol-simbol keislaman. Simbol-simbol seperti kehidupan sesudah mati, istilah-istilah Islam, dan penutup kepala dikatakan sebagai ciri manusia gurun yang identik dengan keterbelakangan.
Status Profesor Budi Santosa Purwokartiko yang juga Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) di akun pribadi Facebook-nya itu sekarang sudah dihapus. Dia juga sudah dicoret dari daftar reviewer Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan dan dipecat dari jabatan rektor ITK.
Namun kehebohan akibat tulisannya di media sosial tersebut belum hilang, bahkan cukup menyita perhatian para netizen saat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1443 H yang semestinya dipenuhi pesan damai dan harmoni. Apalagi postingan tersebut sempat ditanggapi pula oleh Menko Polhukam Mahfud MD di Twitter.
Status Profesor Budi Santosa diunggah di Facebook pada 27 April 2022, yang kemudian pertama kali ditanggapi oleh Ismail Fahmi pada 29 April 2022. Dalam tanggapannya, Ismail Fahmi menyebut Budi Santosa sebagai profesor yang rasis dan xenofobis. Rasis karena membedakan manusia berdasarkan ras (manusia gurun, Arab). Xenofobis karena benci pada orang asing (manusia gurun).
Setelah itu, status tersebut menjadi viral dan menjadi perbincangan masyarakat. Berikut ini narasi lengkap status Profesor Budi Santosa Purwokartiko:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5 persen sisi kanan populasi mahasiswa.
Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3.5 bahkan beberapa 3.8, dan 3.9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8.5, bahkan 9.
Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan, dan asisten lab atau asisten dosen.
Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi: apa cita-citanya, minatnya, usaha-usaha untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dan sebagainya. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dan sebagainya.
Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi-posisi di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang.
Dan kebetulan dari 16 yang saya harus wawancara, hanya ada dua cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada dua tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun.
Otaknya benar-benar open mind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju, seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi.
Penyakit Islamofobia
Label “rasis”, “xenofobis”, “guru besar yang berotak kecil” dan lain-lain yang kemudian disematkan oleh masyarakat kepada Profesor Budi Santosa sejatinya bersumber dari satu penyakit hati yang laten: Islamofobia. Alquran menyebut sikap anti-Islam muncul karena kedengkian (Surat Ali Imron ayat 19 dan 120).
Sebutan “manusia gurun” bisa ditafsirkan sebagai bentuk kebencian kepada Arab, dan Arab adalah identik dengan Islam. Konon, kebencian orang Jawa terhadap Arab sudah terbaca dalam Serat Darmogandul karya Ki Kalamwadi (1900). Isi babad ini sebenarnya menceritakan keruntuhan Kerajaan Majapahit yang kemudian digantikan oleh Kesultanan Demak. Namun banyak narasinya yang memihak pemerintah kolonial Belanda, menghina Islam dan ulama.
Belakangan muncul sebutan “kadal gurun” yang konon pertama dipopulerkan oleh tokoh PKI di tahun 1960-an, Nyoto. Akan tetapi menurut sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, istilah “kadrun” baru muncul setelah Pilkada DKI Jakarta 2012 hingga Pilpres 2019, menyusul istilah “cebong” dan “kampret”. Beberapa istilah yang populer pada 1960-an antara lain “setan desa” dan “setan kota”. Menurut Asvi, sebutan kadrun, cebong, dan kampret bersifat memecah belah.
Istilah “kadrun” banyak digunakan oleh para buzzer dan pendukung Presiden Joko Widodo, ditujukan kepada peserta Aksi Bela Islam yang awalnya dikomandoi Front Pembela Islam (FPI) di bawah pimpinan Habib Rizieq Shihab. Sosok Rizieq inilah yang tampaknya menjadi sasaran penggunaan istilah itu. Konotasi Arabfobia dipahami sama dengan Islamofobia.
Tentu saja sentimen anti-Arab di Indonesia adalah sebuah sikap yang a-historis dan tidak akademis. Secara politis, sikap itu melupakan peran dan jasa bangsa Arab bagi kemerdekaan Indonesia. Pengakuan pertama kemerdekaan RI oleh negara-negara Arab diabaikan. Peran tokoh-tokoh Arab dalam perjuangan kemerdekaan dinafikan. Secara kultural, serapan 30 persen lebih kosakata Arab dalam Bahasa Indonesia tidak diakui.
Secara akademis, masuknya Islam di Indonesia dan semangat nasionalisme anti-penjajahan di seluruh Nusantara berasal dari Arab. Meskipun Snouck Hurgronye ngotot dengan teorinya bahwa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat (India), berbagai studi mutakhir menguatkan teori arus utama bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab.
Studi kontemporer yang dilakukan oleh Michael Francis Laffan (2003) menyimpulkan, sumber inspirasi keislaman orang Indonesia dan semangat nasionalismenya berasal dari Makkah, Kairo, dan Hadramaut. Inspirasi itu dibawa pulang oleh orang-orang Jawi (penduduk Nusantara) yang beribadah haji untuk mengobarkan perlawanan melawan Belanda.
Adalah mantan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan yang pertama mendesak PBB untuk melarang secara universal Islamofobia di banyak negara. Pemimpin Pakistan itu mengecam publikasi baru kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo, sebuah mingguan satir Prancis.
Menurut Imran Khan, Muslim terus menjadi sasaran impunitas di banyak negara. Tren kebencian dan kekerasan agama yang meningkat atas nama kebebasan berbicara telah menonjolkan Islamofobia. Provokasi yang disengaja dan hasutan untuk membenci dan melakukan kekerasan harus dilarang secara universal.
Sekularisme Barat
Dari Serat Darmogandul, teori Snouck Hurgronye, hingga seruan global PBB untuk melawan Islamofobia terkuak benang merah pemikiran dan sikap yang mencerminkan sekularisme Barat. Apa yang hendak disampaikan oleh Profesor Budi Santosa adalah pesan sekuler untuk memisahkan Indonesia dari Islam. Karena Islam dari Arab, maka Indonesia hendak dipisahkan dari sumber keislamannya.
Celakanya, metodologi yang dipakai olehnya sama sekali tidak mencerminkan gelar profesor yang disandangnya. Perhatikanlah argumentasi yang dibangun dalam tulisannya. Betulkah 12 mahasiswi itu semuanya tidak berjilbab? Okelah mereka cerdas, IP tinggi, dan kemampuan bahasa Inggris bagus. Namun, darimana disimpulkan kalau mereka betul openmind dan mencari Tuhan ke negara-negara maju?
Data 12 mahasiswi tidak berjilbab yang terjaring program LPDP itu sungguh diragukan secara metodologis. Hal itu tidak sesuai dengan fakta mayoritas mahasiswi di Indonesia. Jika faktanya tidak sesuai, bagaimana kesimpulannya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah?
Kalau hendak mengatakan bahwa orang-orang Arab (Islam) itu terbelakang, bicaralah dengan data dan fakta yang akurat. Teliti seluruh sampel komunitas dan institusi di Arab dengan berbagai indikatornya. Namun, baru netizen mengajukan perbandingan kualitas perguruan tinggi di Arab saja dengan di Indonesia, sudah ketahuan kalau peringkat internasional rata-rata universitas di Arab Saudi ternyata jauh di atas peringkat universitas-universitas ternama di Indonesia.
Itu untuk institusi pendidikan tinggi. Belum bicara yang lebih membumi, sepakbola misalnya. Semua orang di negeri ini tahu di mana level sepakbola kita dibandingkan tim-tim Timur Tengah. Atau yang lebih riil lagi, tingkat kemakmuran penduduknya. Orang Arab sudah makmur sejak zaman Nabi Ibrahim. Sedangkan kita masih terus bermimpi tentang masyarakat yang adil dan makmur.
Janganlah ada lagi profesor seperti Budi Santosa yang mencederai gelar profesor di negeri ini, merendahkan derajat perguruan tinggi, dan mempermalukan bangsanya sendiri. Jangan sampai bangsa-bangsa yang dihina tahu kalau kita ternyata hanya seperti katak dalam tempurung.
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post