TANGGAL 3 Desember lalu merupakan hari disabilitas nasional. Tidak ada peringatan yang istimewa. Namun ini ada kisah perjalanan asmara pria difabel tuna rungu atau tuli asal Kabupaten Tegal, Jawa Tengah hingga akhirnya berumah tangga.
Pria tuna rungu itu adalah Imam Santoso (38) warga Desa Tembok Benjaran Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Ia berhasil memperjuangkan cintanya dengan Siti Alfiatin (36) asal Desa Mejasem, yang juga tuna rungu, sampai ke pernikahan.
“Saya dan istri mengalami tuli sejak lahir dan sampai sekarang,” tutur Imam Santoso dengan bahasa isyarat kepada panturapost di tempat kerjanya, Jumat (4/12/2020).
Saat berbincang dengan menggerakkan tangan dan menulis di buku, Imam bercerita awal mengenal Siti Alfiatin. Yakni sejak masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Kebetulan keduanya sekolah dari SD, SMP sampai SMA di SLB yang sama.
“Kenal pertama sejak kelas enam SD. Setiap hari ketemu saat sekolah. Pada akhirnya, waktu duduk di bangku SMA, dia (Siti Alfiatin) bilang suka ke saya. Kata dia, saya orangnya lucu,” tutur Imam sambil menggerakan tangan saat berbincang.
Setelah lulus SMA, keduanya mulai memikirkan keseriusan hubungannya. Imam memberanikan diri mendatangi orang tua Siti. Dan, mengutarakan niatnya untuk menikahi Siti. Tapi itu dilakukan setelah empat tahun lulus SMA.
“Setelah lulus sekolah itu pacaran dulu selama empat tahun. Karena saya harus mencari kerja untuk masa depan,” ujar dia.
Selama empat tahun, kalau ketemuan atau mau ngajak jalan, Imam titip pesan sama temannya yang dekat sama Siti. Setelah itu baru jalan. Waktu itu memang dia belum menggunakan handphone.

Setelah empat tahun kerja sebagai pengelola usaha toko material, Imam pada tahun 2010 mempersunting Siti. Dan, orang tua Siti menyetujui Imam menikahi putrinya. Dari pernikahannya itu, kini pasutri tuna rungu itu dikaruniai dua anak yang sehat dan normal.
“Alhamdulillah kami memiliki dua anak dan semua bisa bicara dan mendengar. Satu anak sudah masuk sekolah SD dan satu anak lagi masih kecil,” tuturnya.
Sebagai orang tua yang tuna rungu, Imam mengakui, proses komunikasi dengan anak harus sabar. Karena menggunakan bahasa isyarat, komunikasi harus pelan-pelan dan sabar agar sang anak mengerti.
“Jadi saat anak mau minta jajan atau apapun itu, sang anak sudah tahu, suka toel saya dulu kalau mau bicara. Setelah itu baru pake bahasa isyarat,” terang Imam.
Imam pun memantau saat istri mengurus bayi. Saat ketiduran dan bayi nangis di sampingnya, sang bayi suka tarik-tarik baju atau tangan. Jadi istri kebangun. “Peran istri sangat penting banget. Apalagi kami berdua tuli,” katanya.
Imam mengakui, menjadi orang tua dengan kondisi tuli semua itu ada sedihnya. Saat anak main atau sekolah, kadang ada yang ngeledek tentang orang tuanya yang tuli. Dan anak nangis. “Melihat anak nangis, kami orang tua ikut nangis. Tapi kami selalu sabar dan kasih semangat anak-anak agar terus tegar dan tersenyum.”
Karena itu, sang istri hanya fokus mengurus rumah tangga. Sementara Imam mengelola usaha kecil toko material. Saat menjaga toko, para pelanggan atau pembeli pun tahu kalau ia tuli. Saat pembeli bicara, Imam liat gerakan bibirnya agar tahu mau beli apa atau pembeli menulis di kertas yang sudah disediakan. (*)
Editor: Muhammad Abduh
Discussion about this post