Arus mudik dan balik Lebaran tahun 2022 menyita perhatian semua pihak. Ini disebabkan, permasalahan arus mudik bukan hanya kepentingan masyarakat pemudik, namun melibatkan kebijakan Pemerintah dalam mengatur tradisi tahunan ini. Mudik tahun ini, merupakan mudik yang berbeda dengan mudik 2 tahun, yang masih disergap bayang-bayang pandemik Covid 19, sehingga timbul pembatasan. Di tahun ini, katup pengekangan mudik Lebaran 2022 benar-benar dibuka Pemerintah.
Menyediakan sarana mudik yang aman dan nyaman merupakan hal yang menjadi tanggung jawab Pemerintah. Tidak hanya penyediaan moda transportasi publik, tapi juga ketersediaan infrastruktur jalan. Hampir dalam rangkaian pelaksanaan mudik semua perhatian tertuju pada ramainya jalur mudik di Jawa sebagai sentralnya. Khususnya jalan tol Trans Jawa sebagai poros utama yang menghubungkan Jakarta hingga Surabaya dan kota-kota sekitarnya.
Catatan dari pihak Jasa Marga seperti dikutip dari Detik.com (3/5-2022) menyebutkan jumlah kendaraan secara kumulatif melewati Trans Jawa dari H-10 hingga H hari pertama Lebaran yang meninggalkan Jabodetabek ada 709.353 kendaraan . Terdapat peningkatan dari hari normal. Peningkatan itu mencapai 93,9 %. Itu belum terhitung dengan mereka yang menggunakan moda transportasi kereta api, kapal laut dan pesawat.
Jalan raya merupakan alternatif utama bagi pelaksanaan arus mudik dan balik di Indonesia. Kebijakan pembangunan infrastuktur terkait dengan sarana jalan merupakan prioritas bagi terwujudnya kenyamanan dan keamanan mudik oleh Pemerintah. Ketersediaan jalan sebagai arus lalu lintas mudik menjadi krusial. Sejak Tol Trans Jawa diresmikan bagi arus mudik tahun 2018 telah mengubah peta arus mudik di Jawa yang semula menggunakan ruas jalur Groote Postweg (Daendels) hingga jalur pantai utara (pantura) .
Ambisi pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mewujudkan akses transportasi jalan tol Jawa dari Merak hingga Banyuwangi yang mencapai 1.150 km. Ini bukan hal pertama, karena rintisan pembuatan jalan tol telah diupayakan sejak tahun 1978. Pada masa kekuasaan Soeharto jalan tol yang telah dibuat adalah ruas tol Cikampek-Jakarta serta ruas tol Jagorawi. Tol Trans Jawa bersaing dengan ambisi Herman William Daendels yang membangun jalan Groote Postweg dari Anyer hingga Panarukan.
Infrastruktur jalan tidak hanya mengatur mobilitas sosial dan keterjangkauan akses, namun menyasar pula soal ruang kontestasi politik. Ini yang diungkapkan Jamie S.Davidson, Menaja Jalan :Ekonomi Pembangunan Infratruktur Jawa (2019). Apa yang disampaikan Jamie S.Davidson menyebutkan soal pendekatan politik dalam pembangunan jalan tol yang berkaitan dengan kelembagaan yang memadai, relasi Pusat dengan daerah sekaligus friksi penyelesaian pertarungan negara dengan masyarakat soal tanah.
Bedakan Jalan Daendels dengan Jalan Pantura
Cikal bakal Jalan Trans Jawa adalah jalan Daendels yang dirintis oleh Herman William Daendels . Jalan ini dibuat menurut Endah Sri Hartati, Dua Abad Jalan Raya Pantura : Sejak Era Kerajaan Mataram Islam Hingga Orde Baru (2018), untuk keperluan pertahanan dan kontrol wilayah. Sehingga jalan Daendels bukan sekadar ambisi Gubernur Daendels merealisasikan sepotong jalan seperti Paris hingga Amsterdam, namun merupakan pertarungan politik bagaimana mempertahankan Jawa dari Inggris kala itu. Selain untuk memudahkan pengiriman jasa pos dan arus pengiriman barang komodutas perkebunaan. Jalan Daendels memiliki lebar 7,5 meter dan setiap 1506,9 meter diberi tanda berupa pall, tonggak batu sebagai penanda panjang jalan dan tanda untuk merawat dan memperbaiki jalan oleh distrik dan penduduk setempat.
Jalan Daendels dimulai dari Batavia (Jakarta) menuju ke Buitenzorg ( Bogor) hingga menyambung ke Karangsambung. Namun saat dibangun dari Cheriboon menuju Timur melawati Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Semarang, Rembang, Tuban sampai Panarukan ada menyebutnya dengan istilah Jalan Raya Pantura. Karena ruas jalan ini melewati Kawasan pesisir pantai utara. Setiap titik terdapat tempat untuk peristirahatan dan penggantian kuda yang dikenal dengan pesanggrahan atau brak.
Istilah Pantai Utara Jawa khususnya di Jawa Tengah, seperti dituturkan Endah Sri Hartati (2018 : 41) dalam majalah Indie dengan judul artikel “Een en Ander over het Verkeerwezen in Noord Midden Java” April 1923. Menurut Endah yang menjadi staf pengajar di Undip Semarang tersebut, bahwa jalan Raya Pantura merupakan jalan sebelumnya semasa Mataram Islam dan Groote Postweg.
Arus mobilitas jalan Raya Pantura menjadi semakin strategis ketika Jalan Raya Pantura ditetapkan sebagai jalan utama Nasional serta urat penyangga ekonomi nasional. Sejak tahun 1920-an Jalan Raya ini bersaing dengan transportasi kereta api yang mulai tertata. Beberapa perusahan partikelir telah mendapatkan konsesi trayak dan pembuatan rel kereta api seperti Nederlandsch Indies Spoorweg (NIS) yang membuka jalur Semarang hingga ke Vorstenlanden. Semarang Cheriboon Stroomtram Maatschappij (SCS) yang beroleh konsesi trayek Semarang hingga Cirebon melewati kota-kota pesisir seperti Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes. Terdapat pula perusahaan Semarang Joewana Stroomtraam Maatschappij yang melintas Semarang hingga Juwana.
Arus perubahan transportasi darat melalui Jalan Raya Pantai Utara telah menciptakan relasi dengan wilayah hinterland dan persebaran wilayah-wilayah ekonomi baru dan mentalitas sebagai masyarakat pantura dengan hiruk pikuknya. Termasuk saat pelaksanaan tradisi mudik. Peningkatan perbaikan jalan Pantura akan dikebut serta pemerintah melarang masuk kendaraan angkutan truk barang mulai h-7 hingga setelah :Lebaran demi lancarnya kenyamanan pemudik. Taruhan pemerintah ada pada tradisi mudik sebagai bagian dari kontestasi menaja jalan. Seperti saat tragedi Brebes Exit Timur (Brexit) . Tragedi kemacetan parah Lebaran 2016 di ruas tol Brebes Timur menjadikan pembelajaran. Termasuk Lebaran tahun ini, persoalan mudik tetap menyisakan pemandangan soal kemcetan dan rekayasa lalu lintas.
Namun ada hal yang menyisakan soal tersisihnya Jalan Raya Pantura. Wilayah rest area di pantura menjadi redup. Ini sama kisah dalam film Cars soal redupnya wilayah Radiator Springs setelah munculnya jalan baru yang menghemat waktu. Dinamika jalan dan kota seperti kita mengamini tembang Our Town-nya James Taylor :
Long ago, but not so very long ago
The world was different, oh yes it was
Your settled down and you built town and made it live
—
Wijanarto, Sejarawan
Discussion about this post