BREBES – Menempati rumah layak bersama keluarga tercinta memang menjadi keinginan dan harapan setiap orang. Namun, apa yang dialami satu keluarga di Kelurahan Limbangan Kulon, Brebes ini masih jauh dari harapan itu. Kendati begitu, mereka tak mengeluh meski tinggal di rumah bedeng di bantaran sungai.
Rumah sederhana 2,5 x 5 meter itu berada di bantaran Sungai Sigeleng, RT 5 RW 3 Kelurahan Limbangan Kulon, Kabupaten Brebes. Rumah petak semi permanen yang separuh dindingnya menggunakan anyaman bambu itu dihuni enam orang. Yaitu Diana (53) seorang janda dan 5 anaknya. Perempuan paruh baya yang ditinggal suaminya yang meninggal lebih dulu.
Di rumah sekecil itu, tak ada kamar maupun dapur. Hanya ruangan sepetak tanpa sekat. Ruang itu menjadi tempat tidur untuk anak-anaknya yang masih kecil. Saat tidur, mereka pun sekadar beralas tikar.
Kesibukan Diana saat ini hanya mengurusi anak-anaknya yang kecil. Sedangkan untuk makan, mengandalkan belas kasih tetangga. Suami Diana, Saryat, meninggal dunia sejak 5 tahun lalu, tak lama setelah pembagian warisan. Rumah bedeng yang berdiri di atas tanah lele-lepe pinggiran sungai itu pun dibangun dari uang warisan senilai Rp 6 juta.
“Suami sudah meninggal setelah buat rumah ini. Saya bersama lima anak saya tinggal di sini. Untuk makan seadanya saja,” kata Diana, Senin, 30 November 2020.

Anak tertua Diana, Fajar (20) mengatakan, keluarganya terpaksa tinggal di pinggiran sungai lantaran tak ada pilihan lain untuk tinggal di tempat layak karena urusan ekonomi. Mereka pun menyadari kemungkinan terjadi banjir akibat luapan Sungai Sigeleng. Apalagi saat ini sedang musim hujan.
“Kami sudah tahu tinggal di sini cukup bahaya. Kalau hujan memang ada ketakutan karena pas di pinggir sungai seperti ini, kalau banjir besar ya kita waspada saja,” katanya.
Fajar tak ingin terus ada di lingkaran keterbatasan ekonomi. Ia pun merantau ke Ibukota sebagai pelayan warung makan, bergantian dengan adik perempuannya. Saat merantau, dirinya sering mengirim sejumlah uang kepada ibunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan sang ibu mengurus adik-adiknya yang masih kecil.
“Saya anak yang paling tua jadi harus membantu mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Pria yang hanya lulusan sekolah dasar itu.
Kondisi keluarga Diana yang tinggal di bantaran sungai ini menimbulkan rasa iba para pengendara yang melintas di jalan pinggiran Sungai Sigeleng. Tak sedikit pengendara dermawan yang mampir memberi makan atau bantuan lainnya. Diana pun tak mungkin menolak karana urusan perut.

Sementara itu, Kepala Kelurahan Limbangan Kulon, Arba Setianto, mengatakan dirinya sudah mengetahui keberadaan dan kondisi keluarga Diana. Pihaknya pun sudah berkali-kali membujuk agar bersedia direlokasi. Namun, pihaknya tak menyerah untuk terus membujuk Diana dan anak-anaknya agar bersedia dipindahkan.
“Kami bukanya tak peduli atau bagaimana, kami memang sudah tau kondisi keluarga Diana. Dan juga kami sudah membujuk berkali-kali agar bersedia pindah. Tapi waktu itu mereka tidak mau pindah dari rumah itu,” kata Arba.
Ia kembali menegaskan, pihaknya terus berupaya agar keluarga Diana bersedia pindah dari rumah gubuknya. Pihaknya pun mengaku selalu memperhatikan keluarga tersebut. Sejak dulu, kata dia, salah seorang staf kelurahan selalu menyambangi rumah Diana dan memberikan bantuan dan memastikan keluarga tersebut baik-baik saja.
“Sudah cukup lama Pak Lebe saya selalu keliling saat malam hari dan memastikan keluarga itu baik-baik saja. Kami terus berupaya agar mereka mau di relokasi ke tempat layak,” pungkasnya. (*)
Editor: Irsyam Faiz
Discussion about this post