Terang lampu temaram menyambut saat kami mendatangi warung kopi di Jalan Werkudoro, Kota Tegal. Hampir semua sudut kedai tersebut dibalut dengan cat berwarna hitam. Dua kursi menghadap meja persegi panjang diletakkan di teras kedai. Di sana, sejumlah pemuda dan pemuda sedang asyik mengobrol. Sesekali mereka menyeruput kopi hitam yang mereka tuangkan dari wadah berbentuk mirip lampu bohlam. Setelah itu, mereka lalu menghisap rokok. Begitu seterusnya. Kopi dan rokok seakan jadi pelengkap kongkow mereka.
Nama kedai itu adalah Widji Kopi. Suasana serupa hampir terjadi setiap malam di kedai kafe tersebut. Apalagi kalau malam minggu, pengunjung kedai berlantai dua itu meningkat hampir dua kali lipat. Tak hanya kopi yang mereka pesan, tetapi juga aneka makanan ringan dan berat. Di Widji Kopi juga menyediakan ruangan khusus tanpa asap rokok, yakni di bagian dalam lantai I.
Menurut pemilik, Muhammad Fardani, kafe tersebut baru berjalan sekitar dua tahun sejak awal 2016. Sebelumnya pada pertengahan 2014, Dani, panggilan akrabnya, merintis warung kopi kecil-kecilan di depan SMP Negeri 1 Kota Tegal. Saat itu, dia menempati kios yang lebarnya hanya sekitar 4×5 meter. Bersama temannya, Olan Maulana, dia juga berjualan kopi dan makanan lain seperti bakso dan jagung bakar. Ada juga aneka minuman seperti milkshake, cokelat, dan susu.

“Setelah berjalan beberapa bulan, ternyata yang lebih menonjol kopinya. Saat itu saya sudah mulai menjual kopi yang asli meski tidak menggunakan peralatan seperti grinder dan semacamnya. Jadi bijinya enggak giling sendiri,” kata pemuda 25 tahun itu saat berbincang di kedai Widji Kopi, beberapa waktu lalu. Dia mengatakan kala itu masih berstatus sebagai mahasiswa semester 7, sehingga belum terlalu fokus.
Saat itu dia hanya coba-coba. Pengetahuan tentang kopi masih sangat terbatas. Akhirnya, berbekal nekat dan belajar dari sejumlah literatur, setelah lulus dari Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto, dia pun mencoba untuk mengembangkan bisnisnya. Mulai pidah tempat di Jalan Werkudoro, tapi bukan di kedainya yang sekarang. “Lokasinya tak jauh dari sini (kedai sekarang). Tempatnya cukup besar dan strategis,” katanya.
Sejak saat itu dia sudah mulai menggunakan alat giling dan seduh yang lebih lengkap. Dani mulai mencoba metode manual brewing atau menyeduh kopi dengan cara manual. Alat seduhnya yang dimiliki saat itu jenis V60, Syiphon, Chemex, dan Kalita. Adapun biji kopi dia dapatkan dari Semarang, Pekalongan, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. “Jadi bijinya sudah diroasting (disangrai),” katanya.
Tak lama bertahan di sana, pada Juni 2016, dia bergeser lagi ke lokasi yang masih ditempat sampai sekarang. Masih di jalan yang sama, lokasinya berjarak sekitar 300 meter dari tempat sebelumnya. “Nah pas sudah mulai pindah ke sini, alat-alat sudah lebih lengkap,” katanya. Dia pun menambah pasukan menjadi enam orang.

Seiring dengan perkembangan usahanya yang semakin maju, Dani mulai berpikir, untuk menyangrai sendiri. Alasannya, agar lebih hemat pengeluaran. Akhirnya, setelah menabung sedikit demi sedikit, dia membeli alat penyangrai satu unit. Saat itu, dia belum terpikir bagaimana nanti menggunakannya. “Saya pelajari betul-betul dari Youtube, baca-baca literatur, dan main ke orang yang sudah berpengalaman,” katanya.
Enam bulan mempelajari bagaimana cara menyangrai, pada awal 2017 Dani akhirnya mencoba sendiri. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Sejak saat itu, Dani mulai membeli biji kopi dari petani dari berbagai daerah seperti Pekalongan, Batang, Sindoro, Malang, Aceh, hingga Toraja. Bahkan, kali ini dia mulai menjajal biji kopi dari dataran tinggi di perbatasan Kabupaten Tegal-Brebes di Bumijawa. “Kemarin beli tapi kualitasnya masih kurang. Masih biji yang petik hijau,” katanya.
Widji Kopi, bisa jadi menjadi salah satu pionir kedai kopi yang cara penyajiannya menggunakan cara manual brew di Tegal. Termasuk menjadi satu-satunya kedai di Tegal yang menyediakan kopi dalam bentuk biji yang sudah disangrai. Dia juga sudah punya pelanggan tetap kopi biji yang sepekan dua kali datang ke kafenya. Di antaranya dari Purwokerto, Cirebon, Solo, Brebes, Pemalang, dan Tegal. “Memang filosofi nama Widji Kopi kan seperti itu. Kami ingin jadi pusatnya biji kopi di Tegal,” katanya.

Dani menjelaskan, untuk bisa menghasilkana roast bean yang mantap, ada sekian tahap yang harus dilalui sebelum kopi diseduh. Salah satunya adalah tahap resting atau masa pengistirahatan setelah sangrai. Biji kopi didiamkan selama 4-7 hari di dalam wadah yang ditutup rapat. Ini dilakukan untuk melepaskan gas karbon dalam kopi. Sebab, kata dia, masing-masing biji memiliki profil yang berbeda. Setelah itu, tahap cupping atau memastikan rasa kopi. “Cupping ini dilakukan sehari setelah selesai resting,” katanya.
Setiap hari, Widji Kopi membuat 30-40 gelas kopi untuk para pelanggannya. Yang paling favorit saat ini adalah kopi jenis arabika yang diseduh dengan metode penyaringan menggunan V60. Dari sisi asal daerah, saat ini, menurut Dani yang paling laris adalah kopi Gayo dan Toraja. “Itu paling best seller sekarang,” katanya.
Dani blak-blakan soal omzet bisnis yang sedang dirintisnya itu. Dalam satu bulan, penghasilan kotor dari kafenya mencapai Rp 30-40 juta. Itu belum termasuk hasil dari penjualan roast bean yang jumlahnya sekitar Rp 15-20 juta per bulan. “Ya lumayan. Dulu modalnya sekitar Rp 30 juita dari menjual sepeda motor dan ditambah tabungan saya,” katanya.
Kopi Kasmaran di Jalanan
Kedai kopi di Tegal bukan hanya Widji Kopi. Saat ini, ada sekitar 30 kedai serupa yang tersebar di berbagai sudut Kota dan Kabupaten Tegal. Kafe-kafe itu mulai menjamur pada medio 2016-2017. Salah satunya Kedai Kopi Kasmaran. Mengusung konsep terbuka, Kedai Kasmaran menggunakan mobil klasik di sekitar Alun-alun Kota Tegal. Meja dan kursinya dibiarkan tanpa atap. Risikonya, kalau hujan kafe otomatis tutup.

Kafe Kasmaran berdiri pada Mei 2016. Dirintis oleh tiga orang yakni Jamal, Daimun, dan Martin. Ketiganya adalah pemuda asal Brebes yang mencoba peruntungan di Kota Tegal. Berbekal pengetahuan soal kopi yang dipelajari secara otodidak, mereka akhirnya nekat membuka kedai. “2015, saya belajar (menyeduh kopi) dengan metode manual brew sendiri di dapur rumah. Lalu mengajak dua teman saya itu,” kenang Jamaludin, 30 tahun, saat ditemui di Kedai Kasmaran, Rabu, 7 Maret 2018.
Awalnya, dia ingin membuka warung kopi dengan konsep angkringan di Brebes. Tapi, lantaran belum menemukan lokasi yang cocok di daerah penghasil bawang merah itu, dia akhirnya mengubah strategi dan mencari tempat di Kota Tegal. Alasannya, di Kota Tegal masyarakatnya lebih siap. “Kami buka saat Car Free Day di Alun-alun. Ini sekaligus untuk mengenalkan kepada masyarakat,” kata dia. Strategi itu berhasil dan keberadaan Kedai Kasmaran di Alun-alun Kota Tegal disambut masyarakat.
Berbeda dengan di Widji Kopi, Kedai Kasmaran tidak melakukan sangrai sendiri. Dia membeli biji kopi yang siap seduh dari seseorang di Semarang. Setiap dua pekan, dia mengambil 15-20 kilogram biji dengan berbagai jenis varian. Sebelum di Semarang, dia sempat berkeliling dari kota ke kota seperti Batang, Pekalongan, Bandung, dan Jakarta, untuk mencari biji kopi yang cocok. “Akhirnya pilihannya jatuh ke Semarang. Kami sudah cocok dari segi rasa dan harganya,” katanya.

Setiap hari, Kasmaran mampu menjual 20-30 cup. Pelanggan tidak hanya dari kalangan anak muda, tetapi juga dari yang sudah berumur. Seperti di Widji Kopi, yang paling favorit di kedai ini adalah jenis kopi arabika dengan metode seduh disaring dengan alat V60. “Selain V60 kami juga punya Aeropress dan Kalita,” katanya.
Saat ini, selain di alun-alun, Kasmaran juga buka di Jalan KH. Ahmad Dahlan tepatnya di depan Arpusda Kota Tegal. Tapi,tidak mengusung konsep terbuka seperti kafe sebelumnya. Konsepnya seperti kafe biasa dengan menyewa kios. “Setidaknya kalau hujan pelanggan bisa datang ke kafe yang satunya,” pungkas dia.
Muhammad Irsyam Faiz
Discussion about this post