BREBES – Sebagai relawan bencana memilki tugas yang berat. Mengevakuasi dan menolong saudara yang tertimpa musibah itu, merupakan perbuatan mulia.Dengan mengerahkan pikiran, tenaga hingga bercucuran keringat, para relawan tak kenal lelah dalam misi kemanusian.
Bencana gempa-tsunami beberapa waktu lalu di Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng) misalnya. Bencana yang sudah menelan lebih dari 1400 korban meninggal dunia dan ribuan warga luka-luka hingga masih banyak yang dinyatakan hilang menjadi duka warga memdalam bagi seluruh nusantara. Saat ini, sudah ribuan relawan dari berbagai penjuru nusantara berada di sana. Demikian pula, relawan dari anggota Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Brebes juga turut berangkat ke Palu. Dialah Rudi Setiawan (48).
Akhir pekan ini, rencananya 32 relawan BPBD dari Provinsi Jawa Tengah (Jateng) termasuk Rudi akan diberangkatkan dari Semarang oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Menurut Rudi, kembali memilih mengabdi untuk misi kemanusiaan merupakan suatu hal yang wajib bagi dirinya. Bbeberapa waktu lalu dia dikirimkan untuk menjadi relawan musibah gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) selama dua pekan.
Segala resiko menjadi relawan telah dipersiapkan. Di antaranya, harus meninggalkan sang istri Vifti Nova Wulansari (37) dan anak tunggalnya yang baru berusia lima tahun.”Jumat (5/10) ini akan berangkat ke Semarang. Baru lusa baru berangkat ke Palu melalui jalur darat menuju ke Tanjung Perak (Surabaya). Untuk kemudian melalui jalur laut,” ucap Rudi, Jumat 5 Oktober 2018.
Setelah itu, kata dia, selama tiga hari dirinya beserta relawan lainnya akan menempuh jalur laut menuju Sulteng. “Alhamdulillah istri selalu mendukung apa yang telah menjadi kewajiban saya (relawan). Jadi selama ini tidak ada keluhan dari istri, ya walaupun terkadang sulit untuk melepaskannya. Tapi tugas ini bagi saya itu ibadah,” jelasnya.
Berbagai persiapan juga sudah dilakukan. Termasuk kondisi fisik dan peralatan dasar keselamatan. Selain itu, kesiapan juga diperlukan surat sehat yang didapat dari keterangan dokter. Apalagi, musibah di Palu banyak menelan korban jiwa, sehingga harus memiliki kesehatan yang prima dalam mengevakuasi jenazah.
“Kesehatan memang paling utama, tapi kecekatan atau keahlian dalam membuat tenda dan mengelola dapur umum juga diujikan. Jika semua itu lulus, baru dinyatakan layak untuk ikut. Dan saya satu di antara puluhan relawan yang lolos dan akan diberangkatkan ke Palu,” beber dia.
Dijelaskannya, ia mulai menjadi relawan dalam musibah bencana alam sejak 2004 lalu. Tahun itu, dirinya hanya sebatas mengurus logistik dalam misi kemanusiaan tersebut. Namun, baru 2006 lalulah dirinya diperkenankan turun langsung dalam mengevakuasi korban bencana alam. Seperti musibah gempa di Padang, musibah di Yogyakarta, Lombok dan kali ini Kota Palu.
Pengalaman berharga baik keadaan suka duka dalam menjadi seorang relawan yang membuatnya tetap teguh. Selain bisa berkumpul dengan relawan dari berbagai daerah dan bisa menolong antar sesama menjadi kebanggaan tersendiri olehnya. Namun, berpisah dengan sang istri dan anak menjadi duka yang harus dijalani selama menjadi relawan.
“Tugasnya memang capek sih. Mungkin dukanya ya pisah saja sama keluarga. Yakni terkadang menjadi seorang relawan dipandang sebelah mata oleh orang lain. Tapi itu tidak menyurutkan semangat kita, karena saya bangga jadi relawan,” pungkasnya. (*)
Reporter : Fajar Eko Nugroho
Editor : Muhammad Abduh
Discussion about this post