Nama Tuba bin Abdurrahim, mungkin tak ada yang mengenalnya. Apalagi bagi masyarakat Brebes. Namun kisah hidupnya merefleksikan sisi kemanusiaan pergumulan manusia dalam dinamika sejarah. Hampir sisa hidupmya dihabiskan dalam prodeo politik Orde Baru karena beroleh stigma sebagai kaum komunis. Setelah peristiwa 30 September 1965, tepatnya 16 November 1965 ditangkap dan baru menghirup udara bebas tanggal 13 November 1979. Otomatis ia ditahan selama 14 tahun tanpa proses pengadilan. Beberapa prodeo politik yang ia rasakan antara lain di Brebes, Koramil Sawah Besar, Kodim Jakarta Utara, penjara Salemba, Tangerang, pulau Nusakambangan hingga akhirnya dikirim di “gulag”nya Indonesia: Pulau Buru.
Tuba adalah segelintir manusia Indonesia yang berada pada posisi dinamika kemelut sejarah sebagai konsekuensi pilihannya saat ia melabuhkan aktivitasnya pada organisasi Pemuda Rakjat tahun 1963. Seperti kita ketahui Pemuda Rakjat merupakan organisasi sayap pemuda Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mempertautkan dengan PKI tahun 1950. Cikal bakal organisasi ini diketahui sejak dibentuknya Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) atas inisiatif Amir Syarifuddin tahun 1945. Betapa pentingnya kekuatan Pemuda Rakjat saat itu terkuak dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) atas perkara Njono Prawiro:
“Akan mengerahkan kekuatan para militer cadangan yang terdiri dari 2.000 anggota Pemuda Rakyat, yang sedang menjalani latihan militer oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Lubang Buaya, yang bisa diperbantukan pada perwira-perwira revolusioner saat menghabisi para jenderal.”
Petikan kalimat itu dituturkan Sudisman menuturkan keputusan rapat, seperti dikutip Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005). Hal senada juga terdapat dalam studi John Rossa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008), “Njono telah mengerahkan 2.000, umumnya dari organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakyat, untuk bertugas sebagai tenaga cadangan untuk operasi militer.”
Pilihan Tuba pada Pemuda Rakjat tentu menjadi pilihannya, dimana organisasi ini memang memesona. Salah satunya dituturkan dalam kisah sastra, Blues Merbabu yang ditulis Gitanyali bagaimana saat karnaval organisasi Pemuda Rakjat dengan drumbandnya ditunggu oleh masyarakat Salatiga karena atraksi dan kostum warna hitam dengan topi warna merah. Termasuk Tuba pernah menjadi anggota Drumband Dewan Nasional Pemuda Rakjat yang senantiasa tampil dalam perayaan Nasional.
Tuba dilahirkan di Brebes 14 April 1944. Sejak umur 18 tahun ia merantau ke Jakarta dengan bermodalkan ijazah Sekolah Rakyat dan kursus montir. Beruntung Tuba tahun 1962 diterima sebagai pegawai negeri pada dinas Pekerjaan Umum. Lantaran penghasilannya sebagai pegawai negeri, Tuba nyambi sebagai tukang catut tiket bioskop Cathay Jakarta. Sialnya ia tertangkap operasi ketertiban. Profesi tukang catut tiket bioskop, seperti ditulis Handaru Tri Hanggoro, Inilah Asal-Usul Profesi Tukang Catut, dalam Historia 29 April 2015 sejak zaman pendudukan Jepang dan berkembang hingga tahun 1960-an. Tukang catut akan ramai di bioskop saat film bagus dan bintang filmya juga ngetop. Pengakuan senada muncul dari cerita kenangan Firman Lubis, Jakarta 1960-an, “Mereka sudah mengantre terlebih dulu di depan atau menyelak” tulis Firman. Tukang catut akan menjual tiket film hingga 3 kali lipat harga normal.
Karenanya pihak kepolisian dibuat geram oleh tukang catut hingga secara berkala digelar operasi pemberangusan. Tuba salah satu tukang catut itu tertangkap dan divonis hukuman 1 bulan 10 hari dengan subsider Rp 300 atas tuduhan sebagai pengacau ekonomi. Tuba ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang. Setelah lepas menjalani hukuman, Tuba bekerja sebagai pedagang kaki lima di Lapangan Banteng, juru parkir di Pasar Baru dan terakhir sebagai agen koran Cucu Agency tahun 1964. Tahun 1963 ia masuk dalam barisan keanggotaan Pemuda Rakjat. Militansinya dibuktikan pada bulan Oktober 1964 saat Tuba mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Dwikora.
Kisah Kemanusiaan dari Jeruji Tapol
Tuba menghabiskan seperempat abad di jeruji sebagai tahanan politik. Ada kisah kemanusiaan saat ia menghabiskan masa hidupnya. Namun yang menarik adalah kisah bagaimana Tuba dan kawan-kawannya sesama tapol banyak menulis lirik lagu dan aransemennya. Bakat musiknya terasah saat Tuba menjadi bagian drumband / korps musik Pemuda Rakjat. Dalam 2 artikel yang dirilis oleh Historia banyak mengambil kisah Tuba yang menulis dan menyelamatkan karya-karya lagu tahanan politik. Diantaranya tulisan Andre Setiawan, Kisah Cinta di Tepi Sungai Cisadane (Historia 26 Desember 2019) serta Buku Lagu Para Tapol (Historia 12 Januari 2020). Lagu itu ia persembahkan pada gadis Aisyah, dimana Tuba menambatkan asmara pertama saat ia ditahan di Rumah Tahanan C Tangerang. Pertemuannya dengan Aisyah saat ia ditugaskan mencari kayu bakar untuk keperluan memasak menghidupi mereka yang ada di RTC Tangerang. Dari tulisan Andre Setiawan itulah kita bisa memperoleh kabar bagaimana Aisyah menyelundupkan surat kabar untuk dibaca Tuba.
Sayangnya kisah asmara Tuba tak berlanjut, ia kemudian dari RTC Tangerang dipindah ke Penjara Salemba sebelum akhirnya diasingkan ke Nusakambangan bersama ribuan tapol 1965 lainnya. Kenangan pada sosok gadis Aisya, ia luapkan pada goresan lagu, Tuba menulis lirik lagu yang diberi judul Melati di Tepi Cisadane dengan komposisi musiknya dibantu temannya Ari Matulapelwa.
Ada kisah menarik soal kenangannya di Namlea Buru. Tahun 1990 saat rumahnya di Penjaringan Jakarta Utara mengalami kebakaran, Tuba yang pertama untuk diselamatkan adalah buku tulis berwarna ungu, bukannya barang berharga lainnya seperti televisi atau lainnya. Kisah itu diceritakan kembali oleh Andri Setiawan, lewat Buku Lagu Para Tapol (Historia, 12 Januari 2020). Tuba mencatat lagu-lagu yang diciptakan sesama tapol mulai dari RTC Tangerang, Salemba, Nusakambangan hingga pulau Buru. Buku itu bagi Tuba cukup berharga, karena di dalamnya sebagai kisah perjalanan hidupnya.
Ada baiknya kisahnya dituliskan, yang menguap dalam arus kesejarahan Indonesia.
—
Wijanarto, Sejarawan
Discussion about this post