MALAM Minggu (2/7/2022) di “Kencana Kopi” wilayah Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal, lain dari biasanya. Puluhan anak muda penggila kopi membanjiri ruang dalam hingga ke hamparan pelataran. Mereka duduk bersanding kopi dan nyamikan.
Malam itu memang agak istimewa, karena pengelola kedai “Kencana Kopi” mengusung acara pameran foto, pemutaran film, dan diskusi tentang Tegal zaman kolonial. Malam itu menghadirkan narasumber Bijak Cendikia Sukarno, salah satu anak muda yang getol memburu bangunan atau gedung-gedung bersejarah peninggalan kolonial Belanda kisaran tahun 1930-an hingga kini. Atmosfer dan suasana Tegal masa itu tersaji melalui foto-foto yang dipamerkan, beberapa video yang diputar hingga sesi diskusi digeber.
Dalam pameran foto, banyak terpampang gedung bersejarah masa lampau di ruang dalam “Kencana Kopi”. Di ruang pamer foto-foto bangunan tua dari gedung bioskop seperti gedung Rex (Dewa), Roxi (Dewi), Jupiter (Gedung Setiabudi Serbaguna), gedung bioskop Lux (Mulya Dana), dan gedung Ganefo/Fortuna/Duta hingga lain sebagainya dapat disaksikan. Kecuali itu, ada dipamerkan gedung kesenian bernama ‘Society de Slamat” yang kemudian berganti nama ‘Gedoeng Rakjat’ dan akhirnya berganti nama ‘Tawang Samudra’. Gedung kesenian ini menjadi saksi sejarah satu-satunya yang dimiliki Tegal
Sementara untuk gedung perkantoran ada puluhan foto yang dipamerkan seperti gedung BRI Tegal yang ada di Jalan Pancasila, Waterleiding, SCS atau yang biasa dikenal orang Tegal dengan sebutan Gedung Birao, Kantor Pos dan Giro, gedung Danlanal, lapas, gedung Dewan, dan masih banyak lagi foto infrastruktur yang dirancang pada zaman penjajahan, termasuk di dalamanya ada peta dan lambang Tegal pada masa itu.
Dari pemutaran film pendek yang disuguhkan malam itu, memperlihatkan kunjungan orang-orang keraton Solo datang ke makam Amangkurat I, dan slide foto-foto zaman perang hingga zaman kekinian. Dari semua film yang diputar ada yang istimewa, di mana dipemutar video suasana orang-orang Belanda tengah menikmati Pemandian Kalibakung. Dalam video itu arsitektur kolam renang Kalibakung cukup menarik. Diperkirakan peristiwa orang-orang Eropa menikmati Pemandian Kalibakung berlangsung pada tahun 1930-an.
Bijak Cendikia Sukarno selalu narasumber dalam penyampain pada sesi diskusi menuturkan, dilaksanakan acara itu setidaknya agar generasi milenial mengenal Tegal pada era penjajahan bukan sebuah wilayah yang sunyi sepi, namun isfrastruktur pada zaman itu dibentuk menjadi sebuah kota metropolis. Di Kota Tegal pada tahun 1950-an ada “Caffe” yang keberadaannya masih dalam satu komplek di bangunan gedung Bioskop Dewa.
“Bahkan, sebelum Jakarta menjadi kota metropolis, Tegal sudah lebih modern. Pada zaman itu, inprastuktur Tegal sangat lengkap dari heritage publik, perkantoran, gedung kesenian, sarana transportasi tidak hanya dokar, becak, oplet, kereta api, dan bahkan sarana angkutan seperti trem atau tram pun ada. Angkutan ini salah satu kereta yang memiliki rel khusus di dalam kota. Ini menunjukkan bahwa infrastruktur Tegal zaman itu sudah dipersiapkan oleh Belanda menjadi kota metropolis sebelum Jakarta,” katanya.
Ditambahkan, Tegal tidak hanya memiliki PG Pangka, Pagongan, Kemanglen, Kramat, dan lain sebagainya. Yang lebih mengejutkan bahwa sebelum Ibu Kardinah mendirikan rumah sakit di wilayah itu, sudah berdiri pabrik gula. Nama pabrik gulanya “PG Kedjambon”. Hal ini diperkuat dengan foto yang dipamerkan.
“Alasan mengapa keberadaan PG. Kedjambon ada di tanah yang sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Kardinah, karena biasanya berdirinya pabrik gula tidak jauh dari pasar dan rel kereta api. Pabrik Gula Kedjambon berdiri pada tahun 1930-an. Entah tanah itu dulu milik siapa. Tapi keyakinan saya bahwa nama PG. Kedjambon itu fakta,” ujarnya.
Dituturkan lebih jauh, secara pribadi ia tidak setuju atas penamaan Gedung Biro menjadi ‘Lawang Satus’. Alasannya mengapa penamaan gedung itu nominalnya lebih kecil, ketimbang gedung Lawang Sewu?
“Saya agak kurang setuju tentang penamaan gedung yang mempunyai sejarah panjang disebut ‘Lawang Satus’, enteng sekali. Sementara kita bangga dengan Lawang Sewu yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan gedung tersebut. Mengapa kita harus bangga dengan Lawang Sewu daripada gedung SCS-Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij? Sudah nominal terlalu kecil, cukup dinamai Lawang Satus. Menurut saya, kasih saja nama “Gedung Lima Ribu” atau “Gedung Tujuh Ribu” lebih gede dari Lawang Sewu,” katanya.
Meski demikian, ia lebih suka memberi nama pada gedung Birao itu “Gedung SCS”. Alasannya dari beberapa artikel Belanda yang sempat ia baca, Gedung SCC itu merupakan kantor pusat kereta api yang menyambungkan dari Cirebon sampai Semarang atau sebaliknya.
“Di Cirebon pun tidak ada memiliki bangunan seperti SCS juga di Semarang. Kalau Lawang Sewu itu NIS, Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij. Jadi tidak ada hubungannya dengan Lawang Sewu. Harusnya orang Tegal lebih bangga menyebutnya Gedung SCS!” ujarnya menutup sesi diskusi.
Hadir dalam acara tersebut, kolumnis Mohammad Ayyub, pemerhati peradaban Tegal Bang Satria, para pemuda penggila minuman kopi, dan beberapa komunitas yang peduli pada bangunan-bangunan sejarah pada masa silam. (*)
———-
Lanang Setiawan, Novelis dan penerima Hadiah Sastra “Rancagé” 2011.
Discussion about this post