Oleh: Liana Fijriati*
Obat merupakan komponen penting yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat menjadi sarana atau komoditi kesehatan yang dapat memberikan manfaat apabila digunakan dengan baik, benar dan tepat. Namun, dapat menjadi racun bagi manusia apabila kurangnya pengetahuan dan kesadaran menggunakan obat.
Dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan obat merupakan bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Dalam keadaan tidak sehat (sakit secara fisik) obat menjadi konsumsi sebagai upaya untuk menyembukan rasa sakit agar dapar hidup produktif. Karena kesehatan sejatinya adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Setidaknya ada dua jenis obat yang beredar di Indonesia yakni obat tradisional dan obat sintesis. Obat tradisional adalah obat dari alam berupa bahan atau ramuan bahan bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan. Sedangkan obat sintesis merupakan obat yang sering dikenal seperti obat generik, obat generik bermerek, obat keras, psikotropika dan narkotika. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran mengenai obat menimbulkan penyalahgunaan dan penggunaan tidak tepat.
Dari kedua jenis obat tersebut, obat sintesislah dengan prevelensi penyalahgunaannya relatif tinggi. Obat-obat psikotropika dan narkotik paling umum disalahgunakan. Penyitaan barang bukti narkoba pada tahun 2017 sebanyak 4,7 ton mengalami peningkatan jika dibandingkan pada tahun 2016 sebanyak 3,6 ton. Berdasarkan data BNN tahun 2017 menyebutkan sebanyak 58.365 orang tersangka akibat terjerat penyalahgunaan narkoba. Menurut data pusat penelitian kesehatan Universits Indonesia sebanyak 27,32% penyalahgunaan narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kurangnya pengetahuan berakibat pada penggunaan salah, penggunaan irasional, sumber memperoleh obat dan presepsi yang salah mengenai obat. Hal ini tentu saja akan berdampak buruk bagi masyarakat, obat yang seharusnya dapat menyembuhkan malah justru dapat bersifat toksik bagi tubuh bahkan mematikan.
Opini yang berkembang di masyarakat saat ini, apabila sakit cukup dengan membeli obat di apotek atau toko obat, serta tidak perlu ke dokter. Hal ini sudah dianggap biasa dan membudaya. Sehingga implikasi kesalahan penggunaan pun cukup besar. Kesalahan penggunaan obat di masyarakat umumnya terletak pada penggunaan dosis, 2x dosis (dosis belebih), waktu meminum obat, dan kesalahan penyimpanan obat. Menurut penelitian Pictogram, Unit Drug Tools & Parent Medication Erorr menyebutkan 80% orang tua memberikan kesalahan dosis obat pada anaknya, 12% memberikan kesalahan dengan memberikan dosis berlebih dan 8% kesalahan pada jadwal waktu minum obat.
Pengetahuan masyarakat tentang penyimpanan obat secara umum juga masih belum baik, terbukti sebanyak 35,2% rumah tangga menyimpan obat; 36% menyimpan obat keras; 28% menyimpan antibiotik yang didapat tanpa adanya resep dokter dan 45% menyimpan obat sisa (Riskesdas 2013). Kurangnya pemahaman masyarakat menyebabkan menggunakan antibiotik tanpa supervisi tenaga kesehatan. Pengetahuan yang keliru pada masyarakat dan banyaknya masyarakat yang membeli antibiotik secara bebas tanpa resep dokter memicu terjadinya masalah resistensi antibiotik. Adanya obat keras dan antibiotika untuk swamedikasi (tanpa resep) juga mengindikasikan penggunaan obat yang irasional. Seharusnya obat sisa resep (obat keras/ antibiotik) secara umum tidak boleh disimpan karena dapat menyebabkan penggunaan salah atau disalah gunakan atau rusak/kadaluarsa.
Persepsi masyarakat mengenai obat masih rendah khususnya terhadap obat generik. Sebanyak 32% rumah tangga di Indonesia mengetahui obat generik hal ini menunjukan sebanyak 68% tidak mengetahui obat generik. Dari 32% hanya 43% mempunyai persepsi yang benar tehadap obat generik (obat generik mempunyai berkhasiat sama dengan obat bermerk). Sangat ironi karena Jaminan Kesehatan Nasional merujuk pada penggunaan obat generik. Promosi mengenai obat menjadi urgen karena hanya 60% mengetahui obat generik yang diperoleh dari tenaga kesehatan (Riskesdas 2013).
Latar belakang penyebab terjadinya masalah penggunaan obat bersifat kompleks karena berbagai faktor ikut berperan. Ini mencakup faktor yang berasal dari dokter, sistem dan sarana pelayanan yang tidak memadai, dan dari kelemahan-kelemahan regulasi yang ada. Namun tidak kalah pentingnya terletak pada masyarakat (pasien). Menurut Harahap (2017) pengetahuan mengenai obat sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Kurangnya pengetahuan tentang obat banyak masyarakat memperoleh obat secara ilegal. Hal ini ditunjukan pada Riskesdas 2013 sebanyak 23,4 % rumah tangga memperoleh obat langsung dari tenaga kesehatan (nakes), 37,2% mendapatkan obat dari warung. Sumber memperoleh obat legal seharusnya di Apotek, Toko Obat Berijin, Rumah Sakit, Puskesmas, dan tempat pelayanan kesehatan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Permasalahan seputar penggunaan obat pada dasarnya merupakan tugas utama dari dunia farmasi dengan subjek utamanya adalah Apoteker. Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan telah diakui eksistensinya di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang penggunaan obat yang benar boleh jadi merupakan implikasi dari rendahnya distribusi Apoteker di masyarakat, terutama di praktek komunitas seperti di Apotek dan Puskesmas.
Untuk itu menjadi urgen dan butuh perhatian lebih terkait informasi seputar obat bagi masyarakat. Menyikapi pentingnya informasi menganai obat bagi kesehatan masyarakat, tidak dapat dipungkiri Pemerintah pun sudah mengeluarkan Undang-undang, Peraturan-peraturan, dan kebijakan strategis guna menjamin keamanan bagi masyarakat dan penyalahgunaan obat serta penggunaan yang salah.
Adapun Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Mentri Kesehatan No. 189 tahun 2006 tentang Kebijakan Obat Nasional bertujuan untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obatl; keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; serta penggunaan obat yang rasional.
Selain membuat produk hukum pemerintah juga kerap melakukan kegiatan-kegiatan mengkapanyekan mengenai obat, salah satunya adalah Gema Cermat yang dicanangkan oleh Kemenkes RI tidak lain bertujuan meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menggunakan obat dengan benar, meningkatkan kemadirian dan perubahan perilaku yang baik terhadap obat.
Tidak ketinggalan pula DaGuSiBu yang dikampanyekan oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). DaGuSiBu yang merupakan singkatan dari Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang ini merupakan upaya agar masyarakat paham dimana tempat yang tepat untuk mendapatkan obat, menggunakan obat dengan benar tentunya sesuai dengan petunjuk dari tenaga kefarmasian apoteker, menyimpan obat dengan benar sesuai petunjuk dalam brosur obat, serta membuang obat dengan cara dan pada tempat yang tepat. Walaupun belum sepenuhnya efektif seperti yang diharapkan, upaya-upaya tersebut sungguh sangat kita apresiasi yang setinggi-tingginya.
Selanjutnya apakah pengetahuan mengenai informasi dan kesadaran mengggunakan obat hanya dilakukan atau mengandalkan pemerintah dan tenaga kesehatan saja? Tentunya tidak. Sebagai masyarkat yang sehat dan menyehatkan masyarakat, tentunya perlu kesadaran untuk menyadarkan diri sendiri dan mencari informasi yang benar serta memberikan pengetahuan dan menyadarkan sesama mengingat masih tingginya penyalahgunaan obat dan penggunaan salah obat.
*Sekretaris HMJ Farmasi Universitas Perdaban
*Mahasiswa Jurusan Farmasi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Peradaban-Bumiayu
Discussion about this post