MENTERI Sosial, Juliari P Batubara (JPB) menyerahkan diri kepada KPK pada jam 02.00 WIB dini hari pada 4 Desember 2020, sebagai pengembangan dari operasi tangkap tangan ( OTT ) KPK terhadap pejabat PPK Kemensos RI. Dalam operasi tangkap tangan KPK diindikasikan ada gratifikasi senilai Rp 17 miliar yang mengarah kepada JPB. Dalam modusnya Menteri mendapatkan fee sebesar RPp 10.000 /paket pengadaan Bansos yang diadakan oleh kementrian Sosial RI untuk membantu meringankan masyarakat akibat dampak COVID-19 yang berlangsung sejak bulan Maret 2020 sampai sekarang yang belum tahu akan berakhir kapan.
Gratifikasi kepada Menteri diberikan oleh pihak swasta yang melaksanakan paket pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek senilai Rp 5,4 triliun. Seandainya paket bansos rata-rata satu paket nilainya Rp 300 ribu, maka terdapat pengadaan paket bansos se-Jabodetabek sejumlah 18 juta paket. Maka kemungkinan uang bansos yang masuk ke Menteri hampir Rp 180 miliar. Sebuah angka yang fantastis.
Terhadap peristiwa ini, banyak masyarakat yang merasa geram dan jengkel. Bayangkan, dampak yang dirasakan dari COVID-19 telah meluluhlantahkan semua sendi kehidupan bangsa Indonesia. Dihadapkan pada resesi ekonomi, akibat perdagangan dan bisnis tidak berjalan dengan normal, ekspor mengalami pelambatan. Begitu juga importasi. Perusahaan banyak yang merugi, sehingga jalan mem-PHK karyawan menjadi keniscayaan.
Di berbagai penjuru negeri, pasar, sekolah dan kantor harus ditutup. Sehingga otomatis gerak Langkah masyarakat sudah tidak produktif lagi. Selain menghadapi krisis ekonomi, masyarakat juga kawatir dengan risiko tertular virus COVID-19. Bahkan korban meninggal sudah hampir 17.000 orang. Sementara angka yang tertular positif mencapai angka 500.000 orang lebih. Sebuah fenomena non alam yang luar biasa dampaknya. Sehingga pemerintah menyatakan sebagai sebuah bencana nonalam nasional, yang otomatis kebijakan dan keuangan pemerintah semua diarahkan kepada mengatasi pandemi ini agar segera selesai dengan cepat. Kurang lebih sekitar Rp 400 triliun anggaran yang disediakan pemerintah untuk penanganan COVID-19 di Indonesia.
Sangat wajar, ketika ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan bahwa penanganan masalah korupsi bansos ini akan menggunakan pasal 2 UU no 20 Tipikor tahun 2001. Di mana dalam Undang Undang ini bagi pelaku korupsi dikala bencana akan dijatuhi hukuman mati. Jika ada Perppu nomor 1 tahun 2020 tentang stabilitas keuangan negara untuk penanganan Pandemi COVID-19 yang memberikan diskresi kepada pengambil kebijakan publik untuk segera bertindak cepat. Tanpa melalui mekanisme perundangan diberikan keluwesan hukum. Namun jika menyangkut korupsi dan merugikan orang banyak, maka tidak ada kekebalan hukum yang terjadi buat para pejabat yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan dan memperkaya diri sendiri.

Diskresi yang dimanipulasi
Anggaran COVID-19 pemerintah yang berkisar Rp 400 triliun ini, sebagian besar dianggarkan kepada sektor kesehatan. Untuk mencegah dan mengurangi pandemi. Anggaran terbesar kedua dianggarkan untuk bantuan sosial, sebagai akibat dari dampak yang terjadi pada masyarakat berupa kondisi ekonomi yang melemah. Dana yang disediakan untuk bansos yang dikelola Kemensos seniliai Rp 134 triliun. Anggaran ini digunakan untuk jaring pengaman sosial berupa bantuan beras dan tunai PKH Rp 41,96 triliun, sembako Rp 47,22 triliun, bansos jabodetabek Rp 7,10 triliun, dan bansos non jabodetabek Rp 33,10 triliun. Dari angaran anggaran tersebut yang sudah terserap kemensos senilai Rp 116,2 triliun.
Payung hukum penggunaan dana bansos yang besar juga dibuatkan dalam bentuk Perppu. Yakni Perppu nomor 1 tahun 2020 tentang stabilitas keuangan negara untuk penanganan Pandemi COVID-19 yang memberikan diskresi kepada pengambil kebijakan publik untuk segera bertindak cepat. Tanpa melalui mekanisme perundangan diberikan keluwesan hukum. Diharapkan dengan Perppu ini menjadi landasan hukum yang dibuat oleh pemerintah, agar eksekusi bantuan sosial segera dan cepat terdistribusi kepada masyarakat penerima. Situasinya memang cukup parah, masyarakat benar-benar mengalami kesulitan luar biasa. Ekonomi mati tidak bergerak, karena adanya kebijakan pembatasan dan kerumunan, pasar, dan kantor tutup. Sehingga pelaku ekonomi ritel hancur lebur.
Namun apa daya diskresi ini dibuat malah di manipulasi sendiri oleh Menteri Sosial sendiri. Kemensos kecolongan dan merasa sangat kecewa. Sebelum bansos dilaksanakan, Kemensos telah mengundang Kejagung, Kepolisian, KPK dan BPK, untuk melakukan fungsi kontrol pelaksanaan bansos. Perangkat hukum daerah tidak boleh melakukan kriminalisasi, agar daerah bisa melakukan pembagian sembako secara cepat. Kebocoran ternyata malah dilakukan oleh kepala lembaga yang menjadi leading sector dalam penanganan bantuan social.

Menteri Sosial bermain diskresi demi kepentingan sendiri. Pengadaan dengan nilai yang besar yang seharusnya menurut aturan pengadaan Perpres Nomor 20 jika angkanya diatas Rp 200 Juta, maka dilakukan lelang. Maka karena darurat tidak dilakukan lelang, perusahaan swasta langsung ditunjuk oleh Kemensos, yang dalam hal ini, pejabat pembuat komitmennya sudah melaporkan kepada Menteri untuk disetujui atau tidak sebagai pelaksana.
Dalam kondisi ini, ternyata Menteri memanfaatkan diskresi untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Dengan meminta setiap paket sebesar Rp 10.000. Potensi kerugian negara diperkiraan puluhan triliun, akibat kebijakan patgulipat Menteri ini. Bahkan Presiden Jokowi, kecewa, marah dan tidak bisa ngomong banyak. Karena kesal dengan ini. Masih bersyukur KPK mengendus hal ini dan berujung dengan penangkapan Menteri.
Memperkuat asumsi sebagai lembaga korupsi
Dari tahun ke tahun, Kementrian Sosial sering menimbulkan kontroversial. Belum hilang dari ingatan, Menteri Sosial sebelumnya, Idrus Marham juga tertangkap KPK, akibat menggunakan kebijakan untuk kepentingan sendiri. Belum pejabat Kemensos masa sebelumnya, banyak di antara yang menjabat sebagai Menteri bukan yang memahami persoalan sosial kemasyarakatan. Mereka berasal dari partai Politik yang tidak memahami persoalan sosial di Indonesia. Kenapa tidak mengambil dari pegiat sosial atau paling tidak yang memiliki keilmuan dibidang humaniora yang akuntabel.
Persoalan sosial Indonesia tidak terlepas masalah kemiskinan. Kemiskinan Indonesia mengalami stagnasi dan cenderung naik, diakibatkan pengelolaan dan manajemen kemiskinan yang cenderung karikatif, hanya bersifat temporal dan tidak bersifat kelembagaan yang bisa memecahkan masalah dari hulu. Akibatnya kemiskinan dijadikan sebagai lahan politik untuk melestarikan politik uang dalam setiap hajatan pemilihan umum. Kementrian ini seolah hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan partai politik, tidak ada kebijakan struktural yang masif dalam penanganan sosial. Sangat disayangkan padahal amant kosntitusi sangatkan berat.
Negara harus mewujudkan masyarakat adil dan Makmur, peran signikan negara untuk membenahi dan mengentaskan kemiskinan adalah revitalisasi kementrian sosial, agar berubah bentuk sebagai Lembaga yang memberdayakan masyarakat dan benar benar mengatasi masalah sosial. Bukan sekadar lembaga kementrian untuk melengkapi struktur kabinet saja. Sekarang kita bisa melihat fenomena gunung korupsi di kelembagaan kembali terjadi. Dan lagi-lagi aktivitas partai politik ikut berperan di dalamnya.
Maka kita harus ingat bahwa tujuan dari adanya Undang-Undang Kesejahtersaan Sosial ialah mengatur dan menetapkan garis garis pokok pelaksaanaan usaha ksejahteraan sosial. Mengarahkan, meningkatkan, memperluas serta menyempurnakan pembinaan sosial agar tercipta masyarakat adil dan makmur. Amanat konsitusi yang terjabarkan dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 33, 34 harus dielaborasi oleh kementrian sosial sebagai tugas negara yang sangat berat dan penuh tantangan. Rasa-rasanya dibutuhkan Menteri Sosial yang memahami konstitusi negara dan mengetahui roadmap kementerian yang bisa dibawa ke arah yang mensejahteraan untuk masyarakat, bukan untuk kepentingan pejabatnya sendiri. (*)
Moh. Taufik (Dosen Hukum UPS Tegal, Kandidat Doktor Ilmu Hukum PDIH UNISSULA)
Discussion about this post