*Oleh: Baqi maulana Rizqi
Pemerintah Kabupaten Brebes berencana membangun Mal Pelayanan Publik (MPP). Alasanya untuk mempermudah warga mengurus pembuatan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran, Izin Usaha dan pelayanan publik lainnya. Sejumlah media cetak ataupun online telah mendokumentasikannya.
Komunikasi pun aktif digencarkan. Mulai dari konsultasi dengan Tim dari Kedeputian Bidang Pelayanan Publik Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Lalu, dilanjutkan dengan studi banding ke Kota Bayuwangi Jawa Timur. Rombongan Pemkab Brebes juga mengunjungi Mal pelayanan Publik di Kota Batam. Sah-sah saja, jika rencana tersebut dikuatkan dengan dalil Peraturan Menteri PANRB Nomor 23 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Mal pelayanan Publik. Apalagi efeknya akan menganggarakan dana untuk pembangunan.
“Saya mau masyarakat keluar dari mal ini tersenyum, karena pelayanan cepat,” ungkapan Bupati Idza Prianti itu cukup menyentuh hati nurani rakyat. Pertanyaan yang ingin penulis ajukan sederhana “Dari dulu Bupati ke mana?, soal masyarakat tersenyum memang hanya karena Mal?”. Kalau sebatas menginginkan percepatan pelayanan, kenapa tidak dengan jalan lain? Kenapa harus dengan pembangunan fisik secara berkelanjutan?. Apakah masyarakat akan tersenyum jika keluar dari mal tersebut? Apa jaminannya?.
Bukan soal pro atau kontra, lagi-lagi pemegang kekuasaan dengan mudah mengatasnamakan rakyat, demi kemakmuran rakyat, demi kesejahteraan rakyat, demi kepentingan rakyat. Sekarang ada lagi hanya karena ingin melihat masyarakat tersenyum jika keluar dari mal tersebut. Sejatinya dengan keberadaan pelayanan publik sekarang bagaimana? Dinas Penduduk dan Pencatatan Sipil sudah ada, dan disederhanakan difasilitasi ditingkat Kecamata. Lebih dekat lagi di fasilitasi ditingkat Desa. Kalau alasannya hanya karena ingin masyarakat tersenyum perbaiki saja fasilitas yang sudah ada. Sembari optimalkan sumber daya manusia yang ada. Tenteunya dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sudah ditugaskan untuk memberikan pelayanan publik.
Baca juga: Pemkab Brebes Berencana Bangun Mal Pelayanan Publik pada 2019
Alasan klasik, jika hanya beralasan ingin masyarakat tersenyum, coba cermati dengan kebijakan-kebijakan yang semakin menggila. Mulai dari putusan MA yang membatalkan PKPU No 20 Tahun 2018 yang berisi mantan napi koruptor, bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual anak-anak tidak boleh mendaftar sebagai bacaleg. Bereskan terebih dahulu soal tindakan penganiyaan dan persekusi terhadap seorang pegawai negeri sipil (PNS) dilingkungan Brebes sedangkan pelakunya merupakan oknum anggota DPRD brebes. Perbaiki dahulu lah soal kasus dugaan korupsi bantuan bibit bawang merah yang berasal dari Kementerian Pertanian pada tahun 2016 yang menyangkut Direktur CV Jasmine, Dwi Nurhadi, dan Produsen Benih (PB) Dian Riezqi, Kartobi.
Mau tersenyum bagaimana, sedang pengeboran panas bumi proyek PLTPB Gunung Slamet tetap dilanjutkan. Sedang sekarang sudah mulai musim penghujan. Dampak-dampak akan cepat dirasakan, sebab pengeboran yang terus diupayakan tentu akan membuat kerusakan-kerusakan alam.
Mau tersenyum seperti apa? Sedang Nenek Katem yang berasal dari Desa Plompong Kecamatan Sirampog dan masih ikut wilayah Kabupaten Brebes, yang hidup sebatang kara tidak diperdulikan. Padahal sudah dipublikasikan. Tanggungjawab perhatian atas masyarakat miskin termarginalkan mau dikemanakan. Jika hanya pembangunan infrastruktur selalu dikedepankan, mau dikemanakan masyarakat sekitar. Bukan soal pro atau kontra mau mendirikan Mal Pelayanan Publik, prioritas pembangunan sumber daya manusia tentu tidak dilupakan. Optimalisasi pegawai dari tingkat desa sampai kabupaten tentu menjadi modal utama dalam memberikan pelayanan publik.
Pembanguan infrastruktur memang diperlukan untuk menopang jalannya aktivitas, tapi kiranya perlu diimbangi dengan prioritas dalam pemerintahan yang tidak jauh untuk lebih mendahulukan kepentingan rakyat. Coba tengok proyek PLTPB yang semakin merajai Gunung Slamet, kalau bicara untung rugi, 75 % lari ke asing sedang yang masuk ke dalam Indonesia hanya 25 persen. Bicara dampak tidak jauh akan diterima oleh masyarakat, khususnya yang berpenghuni disekitar area Gunung Salmet.
Untuk itu, tulisan ini hanya untuk merefleksikan bahwa masyarakat sudah terlalu kenyang dengan alasan-alansan klasik dari pemerintah. Kalau hanya beralasan mau membuat masyarakat tersenyum, pertanyaan yang terus penulis tanyakan adalah masyarakat yang mana?
*Mahasiswa Universitas Peradaban Bumiayu (UPB)
Anda juga bisa mengirimkan tulisan baik dalam bentuk opini, cerita pendek, atau cerita ringan berbahasa Jawa dialek Tegalan. Kirimkan karya Anda ke [email protected]
Discussion about this post