ORANG dari Istana Kepresidenan itu memang kebangeten. Gara-gara dia, seorang polisi yang biasanya cetar dan tegar – makanya, maaf, sering disebut “wereng coklat” yang serem, ikut-ikutan “mewek”. Sang polisi ini, satu dari dua orang anggota kepolisian penghuni kawasan alun-alun Kota Tegal, menangis terharu saat orang Istana itu berjalan keliling menyusuri kawasan alun-alun, mendengarkan keluhan warga, pada Senin petang, 13 Desember 2021.
“Kok bisa nangis, Pak? Sentimentil sekali. Istri Bapak saja nggak nangis kok,” tanya saya dengan nada bercanda. Istrinya yang duduk di sampingnya mesam-mesem.
“Begini, Pak. Sebagai penghuni alun-alun sini, saya kan tiap hari menyaksikan penderitaan orang-orang. Berapa kali pengendara mobil kebingungan untuk keluar setelah alun-alun ditutup dengan portal. Belum lagi orang-orang sini yang merasa dipenjara.”
“Terus, kenapa nangis?”
“Saya ngikuti orang KSP (Kantor Staf Presiden) keliling alun-alun, mendengar keluhan warga, saya nggak kuat melihat orang-orang itu menangis di depan Pak Yohanes itu.”
“Oh… begitu.” Baru paham saya.
Memang, hari itu ada “sidak” dari KSP. Yohanes Joko, Tenaga Ahli Utama KSP, diminta oleh Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Juri Ardiantoro untuk verifikasi ke lapangan, melihat langsung kondisi kawasan alun-alun Tegal dan mendengar keluhan warga. Juri, orang Brebes yang mantan Ketua KPU Pusat, merasa perlu mengecek fakta di lapangan setelah heboh yang terjadi di forum “KSP Mendengar” untuk wilayah Bregas (Brebes-Tegal-Slawi) di sebuah hotel di Tegal, pagi hari sebelumnya.
Di depan Yohanes, banyak warga meratap. Ada bekas juru parkir yang sekarang jadi pengemis dan stroke. Ada pedagang yang sudah tua dan sakit-sakitan terpaksa melego kiosnya. Ada orang-orang invalid di atas kursi roda yang tidak bisa keluar dari alun-alun, karena trotoar yang biasa dilewati sudah dipatok pagar stainless.
Uniknya, beberapa petugas Satpol PP tampaknya tertarik mendengarkan acara curhat itu. “Ini yang kita harapkan,” kata salah seorang di antara mereka. Konon, paginya, aparat Satpol PP dipanggil oleh Wali Kota Dedy Yon Supriyono. Mereka dimarahi habis-habisan, sampai nama binatang ikut terloncat keluar. “Kenapa bisa kecolongan (KSP)?!” tanya penguasa Pringgitan. Yang ditanya menggigil seperti kucing kehujanan.
Lantas, hari itu juga muncul pengumuman dibukanya beberapa portal secara bergiliran untuk memberi akses ke warga setempat. Ajib ah! Rupanya, hanya orang pusat yang bisa mengubah (menyerempet sedikit) kebijakan Dedy Yon, yaitu Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (lewat Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi) dan KSP. Budi sempat mengadakan zoom meeting dengan Dishub dan Satpol PP Kota Tegal, Dirlantas Polda Jateng, dan P2KAT.
Gubernur Ganjar Pranowo sendiri, saat dikonfirmasi wartawan, hanya meminta masalah penutupan alun-alun disosialisasikan. Ganjar sepertinya tidak tahu persis duduk perkaranya. Bisa saja surat dari P2KAT belum sempat dibacanya.
Disosialisasikan? Apa kata dunia! Setelah hampir setengah tahun alun-alun ditutup dan sudah banyak korban, baru disosialisasikan? “Maksudnya mungkin korban-korbannya yang disosialisasikan, ini kan bagus,” tukas seorang tokoh yang tinggal di kawasan alun-alun.
Ngegas Terus, Nabrak
Dalam acara yang diselenggarakan KSP untuk menjaring masukan masyarakat itu, P2KAT menyampaikan kasus yang sedang trending di Kota Tegal ini. Pihak P2KAT mempertanyakan, apakah kebijakan penutupan alun-alun sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam menyikapi pandemi covid sekarang?
P2KAT merujuk pada Poin 4 arahan Presiden Jokowi dari materi yang disampaikan oleh KSP. Bunyinya kira-kira begini: Kepala daerah agar mengatur gas dan rem dalam kebijakan covid agar ekonomi masyarakat tidak terganggu.
Nah, di Kota Tegal, kebijakannya “ngegas” terus. Nggak pernah “ngerem”. Ya pasti nabraklah. Setelah dua tahun pandemi, alun-alun masih ditutup. Lantas muncul baliho-baliho “Mr. Lockdown”. Kemudian saat PPKM Kota Tegal sudah level 1, alun-alun malah diportal dan digembok. Terpasanglah baliho-baliho “Mr. Vaksinator”. Oh Jamilah… eh jaileee!
Dalam penglihatan KSP, kebijakan Wali Kota Tegal itu bukan hanya mengganggu ekonomi, malahan bisa bikin bangkrut masyarakat. “Kalau apa yang saya lihat ini malah bisa bikin ekonomi warga collapse,” ujar Yohanes. Dia sempat bertanya, apakah wali kotanya yang dulu menyebut dirinya Mr. Lockdown? Ketika dijawab “ya”, dia tersenyum.
KSP sendiri baru tersentak oleh kasus ini, setelah Sekretaris P2KAT Atik Prihaningrum berteriak di forum. Dia tiga kali minta waktu untuk meminta perhatian KSP. Katanya, kalau alun-alun ditutup untuk mencegah kerumunan, kok Wali Kota Tegal sering mengadakan acara yang bikin orang berkerumun. Dia sebutkan, misalnya, wayangan di Balai Kota, transit peserta reli moge Jakarta-Bali, dan mengizinkan senam massal di Jalan Pancasila.
“Saya masih nyimpen video senamnya, Pak, orang-orang berkerumun dari Taman Pancasila sampai alun-alun,” kata Atik.
“Kalau memang nggak boleh ada kerumunan, jangan hanya alun-alun yang ditutup dong, itu acara-acara Pak Wali Kota juga nggak boleh!” seru Atik. Plok…plok…plok…!!! Tepuk tangan bergemuruh di seluruh ruangan. Jempol-jempol diacungkan.
Tidak lama setelahnya, untuk kali kedua, “selebriti” alun-alun Tegal itu ambruk. Dia pingsan lagi setiba di depan tokonya di Jalan K.H. Mansyur. Sepertinya dia kecapean dan terlalu bersemangat.
Meskipun berita-berita berseliweran hampir setiap hari, baik di media arus utama maupun di medsos, banyak orang ternyata belum tahu ada prahara di kurusetra. Setelah diteriakkan oleh Atik sampai tiga kali, barulah orang-orang “ngeh”. Oh ada masalah toh. Oh ada penjara di pusat kota toh.
Dahsyat juga momen itu. Tokoh-tokoh perwakilan dari berbaga elemen masyarakat di Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Brebes yang hadir dalam forum itu jadi paham masalahnya. Isu lain cukup lewat saja. Mereka akhirnya bersimpati dan mendukung perjuangan P2KAT.
Pilkada, Pil KB
Kasus ini sejatinya mudah diurai dan diselesaikan. Syarat utamanya cuma satu: mau mendengar! Dalam mendengar ini, jangan beda-bedakan orang. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: “Jangan lihat siapa yang mengatakan, tetapi dengarkanlah apa yang dikatakan.”
Warga alun-alun Kota Tegal protes pemasangan portal karena tidak ada sosialisasi sama sekali. Tahu-tahu ditutup dan digembok. Mengapa diportal dan sampai kapan digembok, mereka tidak pernah dikasih tahu. Warga Jalan Pancasila “sami mawon”. Tahu-tahu rambu larangan parkir sudah dipasang. Pembeli atau pengguna jasa kesulitan parkir di depan toko atau outlet.
Apa susahnya ya mengajak bicara warga sebelum proyek revitalisasi dirancang dan dilaksanakan. Tidak perlulah Wali Kota bicara sendiri, kan agendanya padat. Komunikasi bisa dilakukan oleh dinas terkait. Bisa pula oleh wakil rakyat. Buat apa ada dapil (daerah pemilihan) kalau wakil rakyat di parlemen tidak “nyambung rasa” ke pemilihnya.
Tapi, memang, yang sering terjadi seperti sindiran yang sudah umum. Beda pilkada dari pil KB. Maksudnya pilkada, “kalau sudah jadi, lupa”. Pil KB, “kalau lupa, jadi”. Sebelum pemilu, banyak kandidat akan datang sendiri menebar senyum dan janji. Setelah jadi, jangankan diundang, didatangi saja menghindar dengan wajah mesum… eh masam, dan kadang pura-pura tidak kenal.
Banyak kepala daerah juga sama dan sebangun. Merasa terpilih dengan “membeli suara” warga, setelah jadi tidak lagi mau mendengar warga. Merasa sudah menebar amplop, membagi sembako, membantu pengobatan, menyambangi pengajian, atau mengaspal jalan, transaksi selesai. Barang sudah dibayar lunas. Daaah…!
Makanya, Lur (Sedulur), jangan mau diberi receh Rp 50 ribu tapi lima tahun sampeyan menderita. Maksudnya, mintalah sesuai harga pasar. Tidak ada diskon-diskonan. Kalau untuk lima tahun, pantasnya ya Rp 100 juta per kepala. Itu “tarif” penderitaan untuk seorang lajang. Kalau sampeyan punya seorang istri dan tiga anak, tambahkan saja berapa. Tapi kalau istri lebih dari satu ya maklum saja.
Kalau sang calon tidak kuat bayar, sampaikan saja: “Oke, gratis. Tidak usah ngasih apa-apa. Saya akan pilih sampeyan. Tapi tolong teken di sini, ini sudah saya kasih materai Rp 10.000. Bersumpahlah akan jadi kepala daerah yang amanah, berpihak kepada rakyat, tidak berkata kasar, tidak menyakiti warga, tidak madat-mendem-madon, etc.”
Tidak usah dikasih syarat-syarat lain yang normatif macam “harus beriman, bertakwa, setia pada Pancasila” dll. Itu sudah usang, sudah lama diabaikan. Ini zamannya sila “Keuangan Yang Maha Kuasa”. Semua bisa dibeli dengan uang. Bahkan keimanan sendiri kalau bisa dibeli kok. Untung para malaikat tidak butuh uang. Tidak mempan juga sama perempuan, lha wong mereka tidak berjenis kelamin. Mereka hanya punya 13 sifat yang mulia. Baca saja Tafsir Ibnu Katsir.
Semua perbuatan tergantung niatnya. Kata orang, akhir yang baik dimulai dari niat yang baik. Seorang kepala daerah dalam menjalankan pemerintahannya juga dimulai dari niat. Sejak nyalon, apa niatnya? Apa biar hebat seperti Rambo, sendirian bisa mengalahkan puluhan tentara Vietkong? Biar kaya raya seperti Bill Gates? Atau biar cepat meloncat dari wali kota, gubernur, sampai presiden seperi Pak Jokowi?
Barusan viral kematian Wali Kota Bandung Oded M. Danial (Mang Oded). Banyak orang merasa takjub dan iri dengan akhir hidupnya yang – insya Allah – husnul khotimah. Meninggal di hari baik (Jumat), di dalam masjid, sehabis shalat sunah, mau khotbah. Memang dia punya penyakit asam lambung, namun akhir hidup yang baik tidak lepas dari ketaatan beribadah dan berdamai dengan makhluk-Nya.
Karakter Kok Sama
Kasus kawasan alun-alun Tegal (dan juga Jalan Ahmad Yani) tidak lepas dari peran DPRD. Mereka ikut membuat atau mengesahkan legislasi, menggedok anggaran, dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Kabarnya, DPRD banyak menganulir usulan program prioritas Wali Kota. Mereka berhasil mencegah Dedy Yon “mengacak-acak” Jalan Diponegoro dan Jalan Sultan Agung. Tapi, begitulah kata sang hikayat, mereka “tidak tega” menganulir program revitalisasi Jalan Ahmad Yani dan pengaspalan (lagi) Jalan Pancasila yang sudah mulus.
Sayangnya, setelah memelototi usulan anggaran, pengawasan mereka agak molor atau kendor – entah istilah mana yang lebih tepat. Menurut kabar, itu gara-gara dana “Pokir” (Pokok-Pokok Pikiran) bagi setiap anggota Dewan sebesar Rp 2 miliar. Bukan tunai sih, tapi diwujudkan dalam bentuk proyek atau kegiatan.
Maka, warga pun jadi peramal yang baik mirip Jayabaya. Terdengar kata-kata, “Hayo tebak, setelah RDP (Rapat Dengar Pendapat), bisa lanjut ke interpelasi nggak?” Lalu, “Dari interpelasi bisakah naik ke hak angket?” Dijawab, “Kalau hak angket, nunggu gunung lain meletus setelah Semeru hahaha…”
Ngeri juga ya membayangkan wajah Jalan Ahmad Yani sampai Jalan Sultan Agung versi Pringgitan, jika diloloskan. Melihat rencana Jalan Ahmad Yani saja sudah ngeri-ngeri sedap. Jalan yang lempang dan lebar itu nanti bakal tertutup lho. Dari pukul 18.00-00.00 hanya untuk pejalan kaki. Fungsi jalan akan berubah menjadi food court. Praktis di malam hari tidak bisa dilewati kendaraan.
Lha kalau semacam itu memanjang dari Prapatan Tumpuk sampai RSU Kardinah, apa jadinya wajah Kota Tegal? Kendaraan mau masuk pusat kota lewat mana? Mau pakai paralayang atau naik taksi udara? Einstein pun mungkin nggak bisa menjawab pertanyaan ini (lha sudah mati orangnya).
Lalu, nah ini dia, setelah pusat kota diacak-acak dengan dana APBD ratusan miliar rupiah, ditutup, diportal, warga setempat dipenjara dan pedagang dimatikan usahanya, kemudian tahun 2024 Dedy Yon nyalon wali kota lagi tapi tidak terpilih, siapa yang akan bertanggung jawab? Bisakah DPRD dimintai tanggung jawab oleh rakyat? Dedy Yon sih nothing to lose. Tidak terpilih lagi ya pulang ke Brebes. Selesai.
Terakhir ya. Ini pertanyaan buat seluruh warga Kota Tegal – termasuk yang lagi merantau di Ibu Kota dan wilayah lain. Perlu “uji coba” berapa wali kota lagi agar Tegal ayem, maju, dan bahagia warganya?
Dalam 30 tahun terakhir Kota Tegal dipimpin oleh lima wali kota berturut-turut, tapi hanya Adi Winarso yang masih memberi kesan baik. Lainnya “bubrah” semua. Kalau nggak korup ya “korut” (arogan, otoriter). Itu semua berpangkal pada karakter. Eh, karakter kok sama ya. Nggak percaya? Tanya saja ke Pak Rondi atau Pak Kholil, mantan sopir empat wali kota Tegal dari Zakir sampai Siti Masitha.
—
A. Zaini Bisri, Jurnalis Senior & Dosen UPS Tegal
Discussion about this post