Bagi dunia akademis, menulis merupakan kewajiban. Bagaimana mungkin mau menyampaikan materi kuliah tanpa ada tulisan? Namun bagi saya, yang hanya seorang praktisi, menulis merupakan hobi, sarana untuk menyalurkan ide, saran hingga kritik. Tulisan menjadi sarana yang paling efektif dalam menyikapi kehidupan yang ada di sekitarnya.
Menulis ini menjadi sarana yang harus dilakukan, karena selain tercatat dan terarsipkan, juga menjadi bukti untuk proses ke depannya. Apalagi jika dibutuhkan untuk perbaikan ataupun menjadi dasar pemerintah ketika membuat kebijakan yang berasal dari masyarakat secara langsung. Ucapan dan suara yang tak tertulis, kadang seperti angin, yang hanya terasa saat berhembus saja, setelah itu hilang entah kemana.
Menyalurkan ide-ide untuk membangun, ide-ide untuk kebaikan bersama adalah bentuk dan ide tulisan yang harus dilakukan. Syukur-syukur ide itu dipakai para pengambil kebijakan di daerah, tidak dipakai juga tidak masalah. Namun sering kali, ide dan pemikiran ini dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap mereka yang yang sedang berkuasa. Ide yang tidak sepaham, dianggap sebagai ketidaksukaan terhadap pribadi yang sedang berkuasa.
Ketika ide yang tertulis itu dipakai sebagai dasar kebijakan, tentunya yang punya ide merasa bangga. Meskipun secara materi tidak mendapatkan apa-apa, namun rasa bangga itu sudah menjadi bayaran yang tak terkira harganya. Tulisan itu bisa menjadi bukti untuk bercerita kepada anak cucu di kemudian hari. Pun sebaliknya, jika ide dan gagasan dari tulisan kita diperdebatkan dan dianggap sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap pribadi, suatu saat akan terbukti mana yang benar dan mana yang tidak. Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk membuktikannya.
Sebenarnya, yang lebih penting dari itu semua, bahwa menulis itu merupakan wujud eksistensi diri. Eksistensi diri di bidang keilmuan, yang bertujuan untuk saling berbagi ilmu, termasuk ide pribadi, kepada siapa saja. Namun harus diakui, pemikiran ini terlalu melambung tinggi bagi saya, yang memiliki ilmu pas-pasan dan tidak komplit. Sudah bukan akademisi, bukan pula ahli tertentu, dalam arti memiliki keahlian khusus dibidang etrtentu. Memang, kehalian tidak melulu berasal dari pendidikan yang diperolehnya. Seperti para akademisi, yang menyandang gelar profesor doktor, serta sederet gelar lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
Menulis bagi saya pribadi, mungkin hanya ingin eksis di dunia yang sekarang sedang gencar-gencarnya dengan program literasi digital. Atau hanya sekedar mewujudkan pepatah, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Jika sudah mati, mungkin namanya saja yang tertulis di batu nisan penanda kuburannya. Itu pun akan hilang seiring berlalunya waktu.
Namun jika namanya ingin tetap dikenal sepanjang masa, selain karena kealimannya, juga karena meninggalkan pesan-pesan tertulis. Bukan wasiat atau warisan, tetapi karya tulis yang tetap dipakai dan dijadikan bahan rujukan bagi generasi yang akan datang. Itulah kenapa harus menulis. Menulis bukan harus dalam bentuk buku cetak, tapi bisa juga sekedar catatan di blog pribadi, atau paling tidak di dalam buku diary, yang bisa dilihat siapa saja.

Nah, dalam kesempatan ini, saya juga mengajak kepada siapa saja, khususnya kepada mereka yang telah mendapatkan gelar berderet-deret untuk menunjukkan karya tulisnya. Jangan pasang gelar itu, jika tidak pernah atau tidak mau membuat tulisan, yang menunjukkan eksistensi dirinya. Apalagi jika seorang akademisi, yang memiliki kewajiban membuat tulisan, bagikan ilmunya kepada mahasiswa dan juga masyarakat umum. Yakni dengan membuat tulisan-tulisan yang bisa diakses secara umum, tidak hanya untuk dunia akademisi saja.
Tulisan ini juga hanya sekedar catatan, bahwa saya sudah mengajak semuanya untuk aktif menulis. Namun semuanya kembali kepada yang bersangkutan, apakah mau menulis atau tidak. Karena menulis merupakan pilihan, yang pada satu sisi merupakan kewajiban, tapi di sisi lain juga merupakan hobi untuk mnyalurkan ide, gagasan, saran hingga kritik. Yang pasti, jangan sampai karena berbeda pendapat dalam tulisan, lantas kemudian membungkam tulisan. Yuk, menulis, untuk diri sendiri atau untuk orang lain. (*)
—
Muamar Riza Pahlevi, Penulis Buku Jurnalistik, Teori dan Praktek
Discussion about this post