Bulan Ramadan yang semestinya diisi dengan kegiatan yang positif dan bermanfaat tercoreng dengan adanya aksi kekerasan, yakni perang sarung. Bahkan aksi kekerasan itu sudah menimbulkan korban jiwa. Sungguh membuat prihatin para orang tua dan semua pihak, karena pelakunya kebanyakan adalah remaja, bahkan masih banyak yang bersekolah.
Mengapa muncul perang sarung selama Ramadan ini? Mengapa aksi yang tadinya merupakan tradisi permainan anak-anak ini berubah menjadi aksi kekerasan? Tentu ada yang salah dari tradisi ini. Peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya ini sangat penting. Khususnya dalam pengawasan dan memberikan rambu-rambu saat bermain dengan teman sebayanya.
Perlu diketahui, perang sarung ini tidak lepas dari tradisi masyarakat Indonesia selama bulan Ramadan, yakni banyak beribadah di musholla maupun masjid. Tradisi ini yakni dengan mengenakan sarung selama beribadah tersebut. Para orang tua, tentu saja mengajak anak-anaknya untuk ikut belajar beribadah maupun mengaji di musholla atau masjid.
Anak-anak yang diajak orang tuanya tersebut tentu juga memakai sarung. Mereka adalah anak-anak usia SD atau maksimal SMP, tidak ada yang dewasa. Karena anak-anak, maka salah satu nalurinya adalah bermain. Sarung yang biasanya digunakan untuk beribadah pun dijadikan sarana bermain. Saring tarik sarung antara satu anak dengan anak lainnya, hingga akhirnya saling pukul dengan sarung. Saling pukul dengan sarung inilah yang kemudian dikenal dengan perang sarung.
Dalam perang sarung ini, aksi yang dilakukan itu spontan, tidak direncanakan. Juga tidak ada anak yang terluka, paling hanya menangis karena terkena pukulan. Karena memang murni sarung, tidak diisi dengan benda lain yang berbahaya. Hanya yang agak keras, ujung sarung itu diikat hingga membentuk buntelan. Buntelan sarung ini jika dipukulkan cukup keras agak sakit, apalagi jika mengenai wajah. Namun tidak berbahaya atau melukai lawan yang dipukulnya.
Dalam tradisi ini, tidak ada permusuhan antara satu anak dengan anak yang lain ataupun antar kelompok. Mereka saling kenal dan hanya sebatas bermain, setelah itu berteman kembali. Aksi ini dialkukan di sela-sela atau setelah ibadah. Ketika kegiatan ibadah dan mengaji ini selesai, maka selesai pula perang sarung itu. Dan tidak ada dendam antara satu dengan lainnya. Kalau pun ada yang menangis, masih wajar karena masih anak-anak. Orang tua atau pun ustadz yang mengajar cukup menenangkan dan menasehati, kalau bermain tidak boleh berlebihan atau memukul terlalu keras. Setelah itu selesai, kembali tidak ada masalah.
Namun kini, seperti yang terjadi di beberapa tempat yang mengakibatkan korban meninggal, benar-benar perang. Mereka menggunakan sarung dengan diisi benda-benda keras dan tajam. Sehingga ketika dipukulkan dan mengenai bagian tubuh seseorang, pasti akan terluka. Bahkan di antaranya ada yang menggunakan senjata tajam untuk mendukung aksi kekerasan tersebut. Mereka tidak saling kenal, tetapi aksi itu sudah diagendakan sebelumnya melalui grup di medsos. Waktu dan tempat sudah ditentukan dan siapa saja yang terlibat dalam aksi tersebut. Lintas desa, lintas kecamatan bahkan lintas kabupaten.
Para pelaku ini bukan hanya anak-anak saja, tetapi sebagian besar sudah remaja dan sebagian sudah putus sekolah. Aksi yang dilakukan pun bukan permainan seperti tradisi zaman dulu. Mereka benar-benar melakukan aksi tawuran, yang berlindung dibalik aksi perang sarung. Kebetulan karena di bulan Ramadan, banyak yang mengenakan sarung. Sarung yang akan digunakan untuk perang ini sudah disiapkan sebelumnya. Yakni diisi dengan benda-benda keras dan tajam. Aksi itu pun dilakukan malam hari, setelah sholat tarawih hingga menjelang sahur, bahkan setelah sholat subuh. Para pelaku ini tidak benar-benar beribadah di musholla atau masjid, tetapi bergerombol di suatu tempat yang sudah ditentukan, dengan membawa sarung yang dipersiapkan untuk tawuran.
Peran orang tua, tokoh masyarakat dan aparat penegak hukum sangat penting untuk mengantisipasi peristiwa tersebut. Karena aksi perang sarung ini sebenarnya adalah aksi tawuran yang sudah direncanakan sebelumnya. Ketika anak keluar rumah membawa sarung tetapi tidak dipakai, perlu ditanyakan dan diperiksa isi sarungnya. Mau kumpul di mana dan bersama siapa saja, perlu diperhatikan setiap orang tua. Agar anak-anaknyatidak terlibat aksi tawuran berkedok perang sarung. Masyarakat yang mengetahui aksi kumpul-kumpul remaja yang mencurigakan itu pun harus waspada dan segera membubarkan.
Aparat penegak hukum harus lebih proaktif lagi selama bulan Ramadan, khususnya di waktu-waktu terjadinya aksi tawuran tersebut. Yakni dengan melakukan patroli maupun razia dan membubarkan aksi gerombolan yang mencurigakan. Setiap pelaku kekerasan aksi tawuran harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena aksi yang mereka lakukan adalah kriminal, bukan tradisi selama Ramadan. Waspada aksi tawuran berkedok perang sarung. (*)
—
Muamar Riza Pahlevi, Warga Brebes, Pemerhati Sosial dan Politik
Discussion about this post