PEMILU atau Pilkada merupakan sarana demokrasi dalam mengejawantahkan suara rakyat dalam bentuk angka-angka perolehan suara. Karena dari situlah akan ketahuan, siapa yang menjadi pemenang dalam gelaran pemilu tersebut. Dan salah satu keberhasilan pemilu adalah tingginya angka partisipasi masyarakat. Karena semakin tinggi partisipasi, maka semakin tinggi pula legitimasi pemimpin yang dipilih melalui pemilu tersebut.
Dalam Pilkada 2020 ini, di mana masih dihantui pandemi virus yang mematikan, yakni Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi KPU Kabupaten/Kota yang menggelar Pilkada. Di mana sosialisasi yang diharapkan banyak menghadirkan pemilih, menjadi terhalangi karena harus menghindari kerumunan dan jaga jarak. Kondisi ini harus disikapi serius oleh penyelenggara pemilu atau Pilkada.
Sosialisasi pemilu ini sangat penting untuk meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat. Jangan sampai karena pandemi, justru tingkat partisipasi malah turun, jauh seperti yang ditargetkan. Karena semakin tinggi partisipasi, maka semakin tinggi pula tingkat legitimasi calon yang terpilih.
Untuk meningkatkan legitimasi tersebut, penyelenggara pemilu yakni KPU, wajib melakukan sosialisasi yang kreatif. Tidak hanya kepada peserta pemilu, tetapi sosialisasi juga ditujukan kepada masyarakat pemilih. Karenanya, sosialisasi ini merupakan salah satu ujung tombak keberhasilan pemilu. Tanpa sosialisasi, program-program yang dilakukan KPU tidak akan diketahui masyarakat.
Tahapan-tahapan pemilu yang ada, wajib disampaikan ke masyarakat, mulai dari tahapan penyusunan daftar pemilih, hingga tahapan terakhir, yakni terpilihnya wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif, maupun para pemimpin di lembaga eksekutif. Dengan demikian, masyarakat akan tahu jadwal dan tahapan pemilu yang sedang berlangsung. Sehingga masyarakat dapat berperan serta secara maksimal dalam gelar pemilu tersebut.
Peran serta masyarakat dalam pemilu sangat vital, selain sebagai pemilih dan penentu siapa yang akan terpilih. Masyarakat pemilih sangat menentukan kedaulatan suatu negara atau daerah. KPU hanya memfasilitasi keinginan masyarakat dalam menentukan pemimpin, yakni melalui pemilu. Karenanya, salah satu slogan KPU, yakni pemilih berdaulat, negara kuat. Di situlah masyarakat punya peran yang luar biasa.
Untuk menunjukkan bahwa rakyat punya peran vital itu, maka KPU wajib melakukan sosialisasi secara massif. Tidak hanya melalui cara manual, tatap muka saja, tetapi melalui berbagai macam cara menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan demikian, rakyat merasa memiliki dan kemudian menggunakan hal pilihnya secara idnependen, tanpa tekanan maupun iming-iming yang dilarang undang-undang.
Dalam melakukan sosialisasi, KPU dituntut untuk mampu berkreasi dan beraksi semenarik mungkin. Higga masyarakat tidak bosan, apalagi sampai apatis terhadap pemilu. Jika KPU mati rasa dan mati akal dalam sosialisasi, maka masyarakat akan bosan, akhirnya justru menjadi racun dalam pemilu. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh KPU, meskipun kewajiban sosialisasi tidak melalui menjadi kewajiban KPU, tetapi semua elemen bangsa yang peduli terhadap demokrasi dan pemilu.
Apalagi di masa pandemi Covid-19 yang tidak diketahui kapan berakhirnya, KPU dituntut mampu melakukan sosialisasi yang aman dari penyebaran virus mematikan tersebut. Covid-19 bukan alasan untuk tidak melakukan sosialisasi, apalagi sampai menghentikan gelaran demokrasi. Justru dengan keadaan pandemi ini, KPU dituntut mampu berkreasi dengan memanfaatkan teknologi informasi yang sudah maju ini.
Melalui media sosial yang ada, KPU harus bisa memakainya untuk menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat. Masyarakat tidak takut tertular, begitu juga penyelenggaranya, tetapi sosialisasi pemilu tetap bisa berjalan. Sebagai ujung tombak pemilu, sosialisasi tidak hanya menjadi kewajiban divisi yang menaunginya, namun menjadi kewajiban semua divisi yang ada di KPU. Belum lagi penyelenggara pemilu lainnya, seperti Bawaslu, juga punya kewajiban yang sama.
Dengan platform yang ada, KPU juga harus menyasar semua lapisan masyarakat. Jika media sosial hanya menjadi milik kaum milenial, maka KPU harus bisa menyasar kaum marjinal dan tradisional juga. Yakni dengan kegiatan yang bisa diterima mereka, seperti berperan serta dalam budaya dan tradisi masyarakat yang berlaku, hingga masuk ke kegiatan keagamaan maupun sosial di masyarakat.
Pemilu tanpa sosialisasi, ibarat hajatan tanpa memakai pengeras suara dan panggung hiburan. Hanya orang-orang yang peduli dan keluarga saja yang hadir memberikan restu dalam hajatan itu. Tentu akan kecewa, jika mereka yang diundang melalui undangan tidak tahu atau lupa adanya hajatan tersebut. Itulah sosialisasi dalam pemilu. Masyarakat juga dituntut mampu menggetok tular informasi yang diperoleh dari KPU tersebut kepada realsi, tetangga maupun keluarganya. Hingga hajat demokrasi, yang digelar rutin lima tahunan tersebut berhasil memilih pemimpin-pemimpin yang diharapkan masyarakat itu sendiri. (*)
*Ketua KPU Kabupaten Brebes
Discussion about this post