UNTUK pertama kali di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia ini, buka bersama (bukber) puasa Ramadan dilarang untuk diselenggarakan. Meskipun larangan itu hanya berlaku untuk pejabat pemerintah dan aparatur sipil negara (ASN), kebijakan resmi yang tertuang dalam surat edaran pemerintah itu terasa aneh dan mengada-ada.
Mulanya, larangan itu tertuang dalam surat berkop Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Nomor R 38/Seskab/DKK/03/2023 tertanggal 21 Maret 2023. Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung membenarkan adanya arahan Presiden Jokowi tentang larangan buka puasa bersama yang kemudian dituangkan dalam surat tersebut.
“Yang pertama bahwa buka puasa itu atau arahan Presiden itu hanya ditujukan kepada para Menko, Menteri, dan kepala lembaga pemerintah,” ujar Pramono dalam keterangannya pada 23 Maret 2023.
Mendagri diperintahkan untuk menindaklanjuti arahan Jokowi itu kepada seluruh pejabat dan ASN. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor: 100.4.4/1768/SJ tentang Penyelenggaraan Buka Puasa Bersama. Surat Edaran itu ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro.
Surat tersebut ditembuskan kepada Presiden Jokowi, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, hingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Selain untuk mencegah penularan Covid-19, larangan ini juga untuk menerapkan pola hidup sederhana ASN. Kemendagri meminta kepada Gubernur dan Bupati/Wali Kota untuk meniadakan kegiatan buka puasa bersama pada bulan suci Ramadan 1444 H bagi seluruh perangkat daerah dan pegawai di instansi perangkat daerah.
Tidak Konsisten
Sejumlah tokoh umat Islam menilai kebijakan itu kurang arif, tidak konsisten, dan dapat menimbulkan kesan bahwa pemerintahan Jokowi anti-Islam. Tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, kebijakan itu tidak arif dan terasa tidak adil.
”Larangan bukber itu tidak arif karena terkesan tidak memahami makna dan hikmah buka puasa bersama. Salah satunya untuk meningkatkan silaturahmi yang justru positif bagi peningkatan kerja dan kinerja aparatur sipil negara,” kata Din.
Menurut mantan ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat itu, alasan masih adanya bahaya Covid-19 terasa mengada-ada. Betapa tidak, lanjut dia, sebelumnya Presiden Jokowi juga mengadakan acara pernikahan putranya dan mengundang kerumunan. Selain itu, akhir-akhir ini Presiden sering berada di tengah kerumunan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haidar Nashir mempersilakan pemerintah mengambil kebijakan tersebut, tetapi hendaknya konsisten dan koheren dengan kebijakan yang lain. Setelah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dicabut pada akhir 2022, katanya, pemerintah telah membebaskan berbagai kegiatan masyarakat. Pariwisata dan konser musik dibebaskan tanpa batasan. Bahkan kejuaraan internasional MotoGP Mandalika 2022 digelar bebas saat PPKM belum dicabut.
“Maka pemerintah juga perlu objektif supaya tidak menimbulkan kesan, kegiatan-kegiatan keagamaan kok dibatasi sementara yang lain tidak,” kata Haedar.
Yusril Ihza Mahendra lebih tajam dalam menyoroti larangan tersebut. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu khawatir, larangan pejabat dan ASN menggelar bukber di bulan Ramadan 1444 H dapat menimbulkan kesan bahwa Jokowi anti-Islam. Kekhawatiran ini langsung disanggah oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Kata Menag, Jokowi tidak demikian, bahkan sebaliknya sangat perhatian terhadap umat Islam.
Kebijakan Aneh
Pendapat Yusril bahwa larangan bukber bisa membuat Jokowi dicap anti-Islam mungkin ada benarnya. Dari alasan yang dikemukakan, kebijakan itu tidak memiliki latar belakang dan urgensi yang signifikan. Pandemi covid sudah lewat dan Jokowi sendiri memberi contoh bahwa kerumunan sudah dibebaskan.
Penilaian Din Syamsuddin dan Haedar Nashir memperkuat ketiadaan urgensi kebijakan. Bahkan jika Din mengatakan kebijakan itu tidak adil dan mengada-ada, juga tidak keliru. Ketidakadilan nampak dari contoh yang dikemukakan oleh Haedar, yakni kegiatan lain dibebaskan, tetapi kenapa bukber dilarang.
Dikatakan mengada-ada, karena tidak cukup alasan untuk melarang bukber, sementara hikmah dan manfaat bukber itu sendiri tidak ada yang menafikan. Alasan berikutnya agar pejabat dan ASN memberi contoh hidup sederhana, menyusul sorotan tajam dari masyarakat terhadap sejumlah pejabat dan keluarganya yang pamer kekayaan, juga tidak nyambung. Pendeknya, larangan ini merupakan strange and reverse policy (kebijakan yang aneh dan antagonis).
Mestinya yang dikeluarkan adalah surat edaran tentang larangan pejabat pamer kekayaan beserta sanksi yang jelas. Misalnya, diturunkan pangkat dan golongannya atau pejabat yang memamerkan kekayaannya itu diwajibkan datang ke KPK untuk klarifikasi hartanya sesuai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Adapun kegiatan bukber justru harus didorong untuk mendekatkan pejabat dengan anak buahnya, meningkatkan keimanan dan silaturahmi ASN, menguatkan semangat keberagamaan, serta agar lebih menghayati makna Ramadan bagi solidaritas bersama dan peningkatan kinerja birokrasi.
Bagaimana bukber dilarang, sedangkan agama sendiri sangat menganjurkan. Ada hadis yang terkenal berbunyi: “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad).
Perintah agama jika dikerjakan menimbulkan berkah, yakni perkembangan dan pertumbuhan dari suatu kegiatan. Bukber dapat mendorong pejabat untuk bersedekah. Apalagi pejabat kaya yang bergaya hidup hedonis, bukber bisa meningkatkan semangat berbagi.
Jika alasannya menghemat anggaran negara, berapakah duit yang dikeluarkan untuk bukber dari tiap kementerian atau lembaga negara jika dibandingkan transaksi tak jelas senilai Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan? Atau berapa biaya bukber jika dibandingkan anggaran negara yang bocor karena korupsi dan suap?
Janganlah bukber sebagai tradisi mulia keagamaan dijadikan kambing hitam atas agenda tersembunyi atau pengingkaran pemerintah terhadap nilai-nilai luhur Islam. Jika negara ini mau berkah dan pejabatnya amanah, doronglah para pejabat dan ASN untuk lebih menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya.
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post