Oleh : Wahyu Syaefulloh*
27 Juni 2018 menjadi sejarah tersendiri bagi rakyat Indonesia. Gebyar pesta demokrasi disambut gembira oleh seluruh lapisan masyarakat. Pemilihan kepala daerah secara serentak yang diatur dalam UU No 10 tahun 2016 yang diselenggarakan di 17 Provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten, ini merupakan manifestasi dari demokrasi di Indonesia. Tentunya hal ini menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat yang ikut andil secara penuh menentukan pemimpin untuk satu periode kedepan. Di sisi lain sebagian masyarakat sadar akan politik baik di lingkungan pendidikan, maupun masyarakat menengah kebawah. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada yang kurang menikmati pendidikan politik, lantas politik yang seperti apa yang diharapkan masyarakat?
Di zaman demokrasi, masyarakat memiliki kekuatan penuh seperti yang dikatakan Robert Dahl dalam satu karya yang berjudul polyarchy, (1971, 1-3). Di sana disebutkan ada 8 indikator jaminan konstitusional yang menjadi syarat demokrasi; Pertama, adanya kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi; Kedua, adanya kebebasan berekspresi; Ketiga, adanya hak memeberikan suara; Keempat, adanya eligibilitas untuk menduduki jabatan publik, kelima, adanya hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan dan suara; Keenam, adanya tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; Ketujuh, adanya pemilu yang bebas dan adil; dan, Kedelapan, adanya institusi-institusi untuk menjadikan menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara-suara (pemilih, rakyat) dan ekpsresi pilihan (politik) lainya.
Menurut Robert Dahl, demokrasi bukan hanya dinikmati pemangku kekuasaan, masyarakat pun memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. Termasuk untuk mendapatkan informasi-informasi alternatif, dan kebebasan untuk berekspresi guna menetukan nasib bangsanya.
Pentingnya pendidikan politik masyarakat bukan hanya sebuah gairah untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Namun sebuah lingkaran yang harus terus menerus diperjuangkan untuk mencapai apa yang di cita-citakan founding father kita. Dalam mandat tersebut sudah jelas bahwa masyarakat sebagai raja yang harus dilayani dan memiliki kekuasaan penuh untuk mendapatkan hak pendidikan, hak sosial , hak politik, dan hak kemerdekaan. Karena pada hakikatnya masyarakat bukan hanya diberikan hak untuk memilih, mengkritisi dan menikmati tetapi masyarakat juga memiliki hak untuk berpartisispasi memperjuangkan dan berpolitik secara merdeka untuk memperbaiki kehidupan dalam bernegara.
Politik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni polis, yang artinya negara-kota. Dalam negara kota di zaman Yunani, orang saling berinteraksi satu sama lain guna mencapai kesejahteraan (Aristoteles). Politik sebagai cara dan taktik perjuangan untuk mencapai sebuah tujuan negara, bukan hanya tujuan menduduki kekuasaan tertentu. Fenomena ini yang mengakibatkan distorsi para kaum elit dalam potret politik yang sekarang ramai diperbincangkan. Yang mengakibatkan menurunya kepercayaan masyarakat, status sosial yang belum merata, dan kultur politik yang semakin jauh dengan daulat. Ini menjadi tugas baru pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat. Harapanya, terus digencangkan agar Implementasi dari politik sendiri dijalankan secara
Robert E. Goodin and Hans-Dieter Klingemann, dalam A New Handbook of Political Science, (New York: Oxford University Press, 1996), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan politik adalah penggunaan kekuasaan sosial yang dipaksakan. Kekuasaan sosial bisa diartikan kekuasaan masyarakat bukan kekuasaan individual ataupun kelompok. Tetapi secara implementasinya kita masih menjumpai praktik politik yang sifatnya partikulerisme. Dimana sebuah pemikiran yang mengutamakan kepentingan pribadi atas kepentingan umum, ataupun mementingkan golongan diatas kepentingan negaranya. Potret seperti ini bukan menjadi harapan masyarakat. Di sisi lain masyarakat mengharapkan politik yang berdaulat dan berkeadilan.
‘Serigala dan rubah memang berbeda. Tapi bagi kelinci mereka sama saja’ (Hernando De Soto, 1989) kata-kata yang cukup menggelitik ini mudah-mudahan bisa membangkitkan kita semua untuk lebih sadar politik. Karena, ruang lingkup politik tidak hanya membicarakan satu atau dua tokoh tetapi secara universal, ada masyarakat kecil yang lebih layak di perbincangkan ketimbang gencarnya pencitraan kampanye publik, dan stereothype atau pun pemberian kesan negatif terhadap tokoh yang dibangun untuk perlawanan maupun pertahanan. Penulis yakin masih banyak orang-orang yang seperti merpati tulus mengabdi untuk bangsa dan negara menuju masyarakat adil makmur yang diridhoi Tuhan seru sekalian alam.
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Peradaban, Kabid. PTKP HMI Cab. Tegal
Anda juga bisa mengirimkan tulisan baik dalam bentuk opini, cerita pendek, maupun tulisan ringan lainnya. Kirimkan naskah terbaikmu ke [email protected] Sertakan identitas dan foto terbaru dengan pose bebas tapi sopan. Redaksi.
Discussion about this post