PADA Rabu, 18 Mei 2022, digelar pilkades serentak di 43 desa di Kabupaten Brebes. Salah satu di antaranya di Desa Wangandalem, Kecamatan Brebes. Suasana pelaksanaan pilkades di desa ini tergolong unik.
Seorang warga desa tersebut yang menjadi pengusaha sukses di Jakarta menyediakan doorprize berupa 18 sepeda motor Yamaha Gear bagi warga yang telah memberikan hak suaranya. Sedangkan satu unit sepeda motor Yamaha Nmax diberikan kepada calon kepala desa (cakades) yang kalah. Ada pula puluhan hadiah menarik lainnya, dari sepeda gunung hingga peralatan elektronik.
Pengusaha itu menyediakan doorprize dengan tujuan agar pilkades di desanya berlangsung aman dan damai, tanpa ada keributan. Setiap calon kepala desa (cakades) harus siap menang dan kalah. Selain itu, supaya partisipasi pemilih bisa maksimal, kalau bisa 100 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS).
Hadiah sepeda motor itu diundi di tiap RT setelah warga memberikan hak suaranya. Jadi setiap wilayah RT mendapatkan doorprize satu unit sepeda motor. Warga cuma perlu memasukkan fotocopy KTP ke dalam kotak yang telah disediakan.
Jumlah DPT Desa Wangandalem ada 3.409. Sebelumnya sempat ada protes dari warga terkait selisih DPT yang cukup besar sebelum dilakukan verifikasi. Semula tercatat ada 4.152 pemilih, sehingga terdapat selisih 743 nama. Setelah panitia pilkades melakukan verifikasi terhadap jumlah pemilih yang dicatat melalui data Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan pendataan secara door-to-door, akhirnya diperoleh data valid 3.409 pemilih.
Pilkades Wangandalem hanya diikuti dua cakades, yaitu cakades nomor urut 1 Siswondo dan cakades nomor urut 2 Makmur Rosidi. Pendukung Siswondo itulah yang sempat menggeruduk panitia pilkades untuk minta klarifikasi data DPT.
Peran Tokoh Informal
Seluruh doorprize tersebut jika dihitung harganya mungkin sekitar Rp 400 juta. Sejumlah itulah sumbangsih seorang pengusaha di Jakarta asal Wangandalem yang rela merogoh koceknya demi pilkades yang aman dan damai di desa kelahirannya. Demi komitmen pada stabilitas politik di desanya, dia menyisihkan sebagian kekayaannya untuk menyenangkan pemilih dan mendorong mereka menggunakan hak pilihnya.
Bantuannya itu tidak menjadi masalah bagi netralitas pemilih, karena pengusaha tadi tidak punya kepentingan terhadap hasil pilkades. Bahkan supaya cakades yang kalah tidak terlalu kecewa, diberikan hadiah Yamaha Nmax tanpa diundi. Ini bentuk stimulus agar desa tetap kondusif pasca-pilkades. Seperti bunyi ungkapan “menang ora umuk, kalah ora ngamuk”.
Benar apa yang dikatakan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyaraka dan Desa (Dinpermades) Kabupaten Brebes Subagyo. Penyediaan doorprize dalam perhelatan pilkades itu sah-sah saja. Yang terpenting, pemberian hadiah tersebut harus netral, tidak untuk memengaruhi warga dalam menggunakan hak pilihnya dan biaya untuk hadiah itu tidak membenani panitia pilkades.
Apa yang dilakukan oleh pengusaha tadi sejatinya adalah bentuk partisipasi tokoh informal dalam pilkades. Peran seperti ini perlu ditingkatkan untuk mendukung pilkades yang aman, damai, dan funny. Layaknya sebuah pesta demokrasi, pilkades seharusnya terselenggara dalam suasana yang rileks dan menyenangkan. Karena, sejatinya, masyarakat di sebuah desa itu saling mengenal, bahkan mungkin masih punya pertalian darah.
Jangan sampai kompetisi politik untuk memperebutkan jabatan kepala desa merusak hubungan kekerabatan dan persaudaraan warga desa. Budaya desa yang gotong royong tidak perlu terpengaruh atau terdampak oleh suasana kompetisi politik di tingkat nasional, yang belakangan lebih diwarnai oleh pembelahan sosial atau oposisi biner yang tak berkesudahan.
Karena itu, kita patut mengapresiasi insiatif dan bantuan tokoh-tokoh informal di desa atau asal desa tersebut dalam mendorong pilkades yang demokratis. Sebaliknya, kita menyesalkan kiprah berlebihan para broker (botoh atau gapit) yang acapkali membuat pilkades begitu menyeramkan.
Karakter Politik Pilkades
Dari waktu ke waktu, karakter politik pilkades telah mengalami perubahan ke arah yang lebih demokratis. Dari masa kerajaan yang feodal, masa penjajahan, masa kemerdekaan, masa Orde Baru, hingga era reformasi, mekanisme dan tata cara pilkades terus mengalami pembaharuan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Pada masa kerajaan, desa umumnya terbentuk sebagai bagian dari proses politik kerajaan di mana tanah dimiliki oleh raja dan rakyat hanya sebagai penggarap tanah saja. Sistem ini masih diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan alasan hanya meneruskan sistem yang berlaku sebelumnya (Mubyarto, 1992).
Namun, ada perbedaan sistem pilkades pada masa kerajaan dan masa kolonial. Pada zaman feodal, kepala desa atau bekel ditunjuk oleh adipati. Seorang bekel memiliki otoritas untuk mengatur masyarakat termasuk menarik pajak, memonopoli kekuasaan, menguasai tanah, dan menyediakan tenaga kerja untuk keperluan kerajaan di wilayahnya. Bekel harus memiliki kecakapan memimpin, punya ilmu kanuragan, dan secara politik harus dekat dengan adipati atau pimpinan di atasnya.
Pada masa penjajahan Belanda, peran bekel sebagai kades mengalami perubahan, dari yang semula bertugas dalam bidang ekonomi, bergeser kepada bidang politik dan administrasi pemerintahan desa. Kades dipilih secara langsung dan terbuka. Calon kades harus mendapat persetujuan wedana dan asisten wedana (camat) serta kontrolir (pejabat pengawas pemerintah Belanda).
Mekanisme pilkades dilakukan dengan cara adu panjang pendukung di lapangan. Kades terpilih didasarkan pada siapa yang lebih panjang (lebih banyak) barisan pendukungnya. Konon, jika jumlah pendukungnya sama, kades terpilih ditentukan oleh siapa yang menang dalam adu fisik (adu kesaktian).
Asumsi kades terpilih harus memiliki kecakapan memimpin dan punya ilmu kanuragan untuk menjaga keamanan desa telah membuat pilkades kerap diwarnai konflik horisontal. Pilkades kemudian diubah dengan menggunakan sistem bumbung (pemilih memasukkan lidi ke dalam bumbung sebagai kotak suara).
Sejak awal kemerdekaan, pilkades diselenggarakan secara tertutup dalam bilik suara. Sistem ini terus mengalami pembaharuan, dari cakades yang disimbolkan dengan hasil bumi atau palawija karena tingkat buta huruf yang masih tinggi, hingga memakai gambar cakades.
Pada masa Orde Baru, sesuai Undang-Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979, desa mempunyai hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Pilkades tetap diselenggarakan secara langsung, hanya saja masa jabatan kades dibatasi 8 tahun. Pada praktiknya, kades merupakan kepanjangan tangan dari kekuasaan di atasnya.
Memasuki era reformasi, diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang mengubah paradigma sentralisasi ke desentralisasi. Otonomi desa diperkuat. Pengertian desa ditegaskan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa.
Pengaturan pemerintahan desa berlandaskan keanekagaraman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggara pemerintahan desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Pemerintahan desa yang otonom ditandai oleh adanya pembagian yang jelas antara fungsi eksekutif dan legislatif.
Model pilkades mulai menggunakan kertas suara berisi nama dan foto cakades. Pemilih mencoblos foto cakades. Cakades yang meraih suara terbanyak dinyatakan sebagai pemenang. Meskipun demikian, pilkades tidak termasuk dalam rezim pemilu karena tidak diatur oleh perundang-undangan pemilu melainkan oleh peraturan bupati. Dasar hukum perbup adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Demokratisasi Desa
Pilkades merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat di desa. Ia merupakan wujud dari demokrasi di desa di mana warga yang sudah punya hak pilih memilih kepala desanya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah juga bagian dari pemerintahan desa yang dipilih secara demokratis.
Hanya saja dalam pelaksanaannya pilkades acapkali berlangsung menyeramkan, khususnya pada masa kampanye dan hari tenang. Peran botoh yang berlebihan dan politik uang sering menciptakan horor bagi warga desa. Pada malam sebelum pemungutan suara, warga yang telah diikat oleh botoh dengan politik uang takut keluar rumah karena bisa dicurigai telah berpindah pilihan ke cakades lain.
Berbagai penelitian menyimpulkan, botoh yang merupakan aktor-aktor politik di desa sangat berperan dalam pemenangan seorang cakades. Perannya sebagai perantara antara cakades dan pemilih membuat botoh seakan-akan menjadi penentu kemenangan. Padahal, makin penting peran botoh menunjukkan makin rendahnya kesadaran politik warga desa (Widyanti, 2020). Artinya, di mana botoh eksis maka di situ demokratisasi desa terancam.
Visi-misi cakades sebagai acuan bagi pemilih untuk menentukan pilihannya menjadi tidak berarti, digantikan oleh peran botoh dan politik uang. Hal ini dapat mencederai proses pilkades dan menurunkan kualitas hasilnya. Tidak masalah dengan botoh apabila perannya juga berkontribusi bagi peningkatan kesadaran politik warga desa, yakni selama kegiatannya dalam memobilisasi massa tunduk pada norma-norma pilkades, seperti tidak menjanjikan atau memberikan sesuatu kepada pemilih.
Dalam konteks inilah peran penting tokoh informal seperti pengusaha asal Desa Wangandalem untuk menekan efek negatif dominasi botoh dan praktik politik uang. Hadiah sepeda motor untuk cakades yang kalah hakikatnya adalah sebuah pesan agar para pihak yang terlibat kompetisi pilkada dapat bersikap legawa. Siap menang dan siap kalah adalah sikap kesatria dalam menghadapi kompetisi, dan sikap ini cermin seorang demokrat.
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post