BINADJI epik revolusi yang tragis. Ia waktu itu berada pada pusat kekuasaan sekaligus pusaran arus revolusi 1945 yang tak menentu. Kita tahu, revolusi 1945 di tingkat daerah menumbuhkan suasana euforia nasionalisme sekaligus stigma pengkhianat bangsa. Binadji berada pada tengah-tengah arus itu. Meski kita ketahui Binadji bukan sosok yang digambarkan Robert van Niel dalam studi klasiknya The Emergence of the Modern Indonesian Elite (1968) sebagai elite tradisional melainkan elite terpelajar.
Binadji Tjokroamidjojo begitu nama lengkapnya mewakili sosok elite nasionalisme lokal yang mengawal transisi politik dari pendudukan Jepang hingga pada garba lahirnya revolusi 1945 di Brebes. Terlahir sebagai anak kuwu (Kepala Desa) Genting wilayah yang sekarang berada di Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang pada 7 Juni 1907. Jabatannya pada masa pendudukan Jepang berdasarkan buku Orang-orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa adalah sebagai Jaksa.
Menelisik riwayatnya, Binadji sosok berbeda dengan priyayi pada umumnya. Riwayat pendidikannya adalah pendidikan Eropa. Tahun 1912, Binadji memulai sekolah setingkat SD di Hollandsche Inlandsche School (HIS) dan Middelbare Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).di Yogyakarta. Jiwa kepangrehprajaan Binadji ditempa melalui Pendidikan yang mencetak pangreh praja pribumi modern, yakni Opleiding School voor Inlandche Ambtenaaren (OSVIA). Dari riwayat hidupnya Binadji tahun 1922 menjadi anggota pergerakan Jong Java, embrio dari organisasi Tri Koro Darma yang digagas Satiman Wirjosandjojo pada tahun 1915.
Revolusi 1945 Binadji bertugas sebagai Jaksa Kabupaten Brebes. Di tengah-tengah kumandang proklamasi kemerdekaan, wilayah Brebes, Tegal, dan Pemalang mengalami arus revolusi Tiga Daerah. Kita tahu sikap pangreh praja masih ragu-ragu soal republiknya Soekarno yang diproklamirkan di Pegangsaan Timur 56. Termasuk Bupati Brebes kala itu, Sarimin Reksodihardjo.
Dari buku legendarisnya Anton Lucas, One Soul One Struggle : Region and Revolution in Indonesia, Sarimin menolak pengibaran bendera Merah Putih sebagai dukungan simbolik pada Proklamasi Kemerdekaan. Berbeda dengan atasannya, Binadji lebur dalam arus revolusi 1945. Bahkan pada 27 September 1945, Binadji terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Brebes bersama dengan Kartohargo, Maksoem Hr, Mohammad Saleh, Imam Sahadat, Kartadi, Soegeng , Soemarno, Ny Mardjono, dr, Mohammad Nazaruddin dan Soenggono.
Ada sejarah yang tak diketahui dan ini membuktikan soal kapasitas Binadji. Hal ini dituturkan dalam tulisan biografi oleh putranya Bintoro Tjokroamidjojo, Bapak dan Ibu dalam Ingatan Keluarga. Bahwa saat 9 hingga 10 November 1945 diadakan pemilihan Bupati Brebes yang dihadiri utusan Soekarno, Sajuti Melik, Binadji memperoleh suara terbanyak namun dianulir.
Sejarah pun mencatat yang terpilih adalah K.H Syatori dan Soedjak Sastrowijoto sebagai Patih Brebes. Mungkin kita tahu alasan penganuliran Binadji dari sisi latar belakang pangreh praja yang dianggap golongan status quo. Nasibnya lebih mujur ketimbang Bupati Sarimin.
Binadji tepat digambarkan sebagai manusia dalam arus pusaran sejarah yang kompleks. Ia telah mendarmabaktikan sebagai pangreh praja professional sekaligus seorang nasionalis. Ia pernah mengungkapkan adanya kewajiban hidup untuk menolong dan membantu pada diri sendiri, keluarga dan keturunan, sanak saudara, tetangga dan sahabat serta pada tanah air dan bangsa. Termasuk akhir hidupnya ia selesaikan dengan bersahaja, saat tantara pemerintahan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menjemputnya di tempat persembunyian pengungsian desa Wangandalem saat pendudukan NICA Agresi Militer 1947. Sang putra Bintoro (kelak seorang cendikiawan dan pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Belanda) mengungkapkan dengan kalimat lirih :
Bapak sempat memeluk anak-anaknya. Ibu menangis.
Revolusi memang tak mesti dengan pekik merdeka, namun juga kebangunan batin yang kadang tak perlu ditorehkan dalam monumen atau prasasati. Contohnya Binadji yang hanya cukup dinggat sebagai jalan kecil (lebih tepatnya gang) di tepi sungai Pemali arah timur, tempat ia dilarungkan oleh NICA tak lama sesudah dijemput tanggal 27 Juli 1947. (*)
—-
*Wijanarto, Sejarawan
Discussion about this post