SELEPAS salat isa, Wanyad tertidur pulas. Pesawat televisi di ruang tengah berukuran tidak telalu sempit dan juga tidak besar, dibiarkan terus menyala. Bukan Wanyad yang menonton televisi tapi televisi yang justru sedang menonton Wanyad.
Saat itu Wanyad sedang menonton sinetron “Misteri Setan Panci”, matanya sayu sudah tidak kuat lagi menahan kantuk memberat. Ia terlelap di alam mimpi.
Di alam mimpi, Wanyad berada di Negeri Atas Angin. Ia menikah dengan bidadari bernama Markonah seperti yang barusan ia tonton dalam drama sinetron “Misteri Setan Panci”.
Si Wandyad dan Markonah dipanggil oleh Raja Darsono karena telah melakukan kesalahan fatal. Raja menyuruh pengawal untuk memanggil mereka.
“Pengawal!” teriak Sang Raja.
Tergopoh-gopoh pengawal menghadap raja.
“Sendiko dawuh Sang Prabu,” ujar pengawal dengan sikap ngapurancang, seperti menyembah.
“Panggilkan Wanyad dan Markonah menghadap raja!”
“Baik, Sang Prabu.”
Pengawal berlalu dari hadapan raja. Tidak berapa lama, pengawal membawa Wanyad dan Markonah ke hadapan Raja Darsono. Sang raja kemudian membaca keputusan hasil rapat sidang darurat para Menteri Negeri Atas Angin. Dengan seksama mereka mendengarkan keputusan raja.
“Menurut Undang-undang No 30 garis miring 3 garis miring 4, kalian telah melanggar peraturan di Negeri Atas Angin. Oleh karena daripada itu kalian diusir dari kahyangan untuk turun ke bumi menjalani hukuman!”
Mendengar keputusan itu mereka kaget bukan kepalang.
“Sang Prabu, kenapa kami diusir? Kesalahan kami apa Sang Prabu?” kata Wanyad seraya bersimpuh di bawah kaki raja bersama Markonah memegangi kaki raja hingga nyaris raja terjatuh. Untung, pengawal langsung menarik tangan mereka.
“Duh Sang Prabu, maafkan kami tak mau turun dari kahyangan,” ratap mereka.
Walau mereka merengek-rengek, raja bergeming. Akhirnya mereka turun ke bumi dengan tangisan berkepanjangan sampai burung-burung pun ikut bersedih dan menangis.
Tiga tahun berlalu, Markonah hamil dan melahirkan anak. Namun Markonah bingung bukan main karena bayinya terlalu over dosis bila meminum air susu ibunya seperti tidak pernah kenyang. Akhirnya Markonah dan Wanyad bertekad menghadap Sang Prabu Darsono.
“Apapun nanti hasilnya, kita harus pergi ke Negeri Atas Angin meminta bantuan, agar bayi kita tidak mati kelaparan,” ujar Wanyad di hadapan istrinya.
Markonah mengangukan kepala menuruti apa yang dimaui suami. Dengan menggunakan ilmu telepati, mereka menembus Negeri Atas Angin. Tidak ada tiga menit, perjalanan mereka sampai di tempat tujuan.
Kepada pengawal yang dijumpai, Wanyad bertanya, “Wahai pengawal, di manakah Sang Prabu? Kami ingin menghadap.”
Pengawal diam membisu. Wanyad dan Markonah berteriak-teriak.
“Sang Prabu! Sang Prabu Darsono!”
Sang Raja Darsono tengah rebahan di atas pohon rindang, mendengar orang beretiak memanggilnya. Sang Raja mengenali suara itu. Tapi sebelum ia beranjak dari tempatnya, mereka sudah berada di hadapan raja.
“Ada apa kalian ke sini? Bukankah kalian sudah aku usir?!” tampak murka wajah raja melihat mereka begitu lancang menghadap dan mengusik ketenangannya.
Atas pertanyaan raja, mereka menjawab. Inti dari perkataan, mereka sangat membutuhkan bantuan susu bayi karena susu bayi yang mampu mencukupi dahaga anaknya berada di salah satu pohon yang tumbuh di Negeri Atas Angin.
Mendengar permohonan itu, raja mengabulkan permintaan mereka.
Selang satu minggu berlalu Raja Darsono dibikin stres karena istana di Atas Angin menjadi bau pesing oleh air kencing anak mereka. Terkadang raja sering pingsan oleh karena bau pesing yang menyengat, dan membuat seluruh penghuni istana geger bukan kepalang. Akhirnya Raja Darsono memanggil pengawal berbadan kecil dan awet muda hingga usianya tidak pernah tua dan tidak mau menikah. Usianya pun sampai menginjak 1.000 tahun, tetapi tetap mengabdi di Negeri Atas Angin.
“Pengawal! Panggilkan tiga bidadari menghadap raja!” perintah Sang Raja.
“Baik!” ucap pengawal lupa mengucapkan kata raja. Karena takut dengan Raja Darsono pingsan Kembali.
Pengawal berlalu dari hadapan raja. Tidak berapa lama tiga bidadari menghadap raja. Kepada mereka, raja bertitah untuk mencari Wanyad dan Markonah agar segera mengambil bayi mereka. Secepat kilat ketiga bidadari dan pengawal itu turun ke bumi.
Bumi yang sangat indah membuat ketiga bidadari lupa akan titah raja. Mereka berasik-asik mandi di sungai sampai menjelang senja. Salah satu dari bidadari berbadan gemuk dan berisi mencari Wandyad dan Markonah. Kondisi bumi menjelang senja itu semakin sepi. Para bidadari kebinguangan sampai mereka masuk angin karena saking dinginnya. Ketiga bidadari menggigil hingga terpaksa mencari kampung terdekat untuk bermalam di rumah warga sekitar.
“Mané, mengenal di sini ada warga yang bernama Wanyad dan Markonah?” tanya salah satu bidadari bertubuh gemuk di tengah percakapan. Yang dimaksud “Mané” adalah tembung “Ibu”.
“Oh, pasangan suami istri itu?”
“Betul Mané, sekarang mereka ada di mana?”
“Keduanya sudah meninggal karena kejatuhan panci setan. Konon menurut cerita, setelah mereka meninggal banyak keanehan yang menganggap mereka telah menjadi Setan Panci!”
“Apa? Setan Panci?!” Ketiga bidadari itu tersentak dan kebingungan. Mereka akhirnya undur diri bergegas mencari pemakaman Wanyad dan Markonah. Tak lama, mereka menemukan makam mereka.
“Duh Yhang Widhi… inikah makam mereka?” Ketiga bidadari menangis sedu-sedan di depan makam Wanyad dan Markonah.
Ketiga bidadari di Negeri Atas Angin itu, dalam hati berjanji akan merawat bayi mereka dan berharap isu Setan Panci hanya sekadar berita angin belaka. Meereka beranggapan hidup di bumi banyak berita hoax yang bisa jadi kenyataan!
Tiba-tiba Wanyad terbagun karena dibagunkan Markonah. Ia langsung mengucapkan istigfar.
“Astagfirullahaladzim.”
Wanyad pun menceritkan kejadian itu kepada istrinya. Ia berpesan kepada Markonah, sebelum tidur jangan sampai lalai berdoa agar diterhindar dari mimpi-minpi buruk. (*)
—–
Ria Candra Dewi adalah penulis novel.
Editor: Lanang Setiawan
Discussion about this post