PERTAMINA dipastikan belum akan memberlakukan larangan pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar Subsidi per 1 Agustus 2022 lusa. Meskipun semula uji coba larangan itu direncanakan dimulai per 1 Juli 2022 di sejumlah wilayah, ternyata sistemnya belum siap.
Pertama, Pertamina masih menunggu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 dan sosialisasinya. Perpres ini akan menjadi dasar peraturan untuk pemberlakuan larangan tersebut dan mekanismenya. Tanpa dasar peraturan resmi dari pemerintah, kriteria dan mekanisme pemberlakuannya tentu sulit diterapkan oleh Pertamina.
Kedua, menurut anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman, pihaknya saat ini tengah menghitung berapa potensi penghematannya jika pembatasan pembelian Pertalite maupun Solar diberlakukan dalam waktu dekat ini.
Menurut Saleh, jika konsumsi Pertalite pada tahun ini mengalami kenaikan sebesar 10 persen saja, maka hingga akhir tahun konsumsinya diperkirakan akan tembus 25 juta kilo liter (kl). Sementara, jika konsumsinya naik sebesar 20 persen, maka hingga akhir tahun konsumsinya diproyeksikan mencapai 28 juta kl.
Ketiga, pihak Pertamina sendiri belum menentukan kapan pembatasan pembelian BBM Pertalite diberlakukan. Hal itu ditegaskan oleh Secretary Corporate Pertamina Patra Niaga Irto Ginting. Sementara itu, masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi masih diberi kesempatan untuk mendaftarkan diri.
Pendaftaran bisa dilakukan secara offline di booth pendaftaran yang disiapkan di SPBU Pertamina atau secara online melalui web “subsiditepat.mypertamina.id” maupun melalui aplikasi MyPertamina. Dari hanya sejumlah wilayah yang semula akan dijadikan area uji coba, kini terdapat 50 kota / kabupaten yang sudah wajib didaftarkan kendaraannya oleh pemilik atau pemakainya.
Batasan “Subsidi Tepat”
Meskipun Pertamina sudah mencanangkan pendataan kendaraan dengan memberi nama “subsidi tepat”, batasannya masih diperdebatkan. Semula, kendaraan yang dianggap berhak untuk “minum” BBM bersubsidi adalah mobil dengan cubicle centimeter (cc) di bawah 2.000. Kemudian berubah menjadi di bawah 1.500 cc untuk mobil dan di bawah 250 cc untuk sepeda motor.
Kriteria itu ternyata dianggap masih belum tepat. Pemilik mobil pribadi 1.500 cc ke bawah masih dikategorikan orang kaya, sehingga tidak berhak mendapatkan subsidi. Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto berpendapat, BBM subsidi seharusnya cuma untuk sepeda motor dan kendaraan umum. Soalnya, menurut Sugeng, kendaraan roda empat kebanyakan dimiliki oleh masyarakat mampu.
Usulan Sugeng senada dengan pendapat Fahmy Radhi. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menilai, subsidi yang diberikan untuk Pertalite banyak yang tidak tepat sasaran, karena banyak dikonsumsi oleh masyarakat mampu. Untuk itu, pembatasan bisa dilakukan, di antaranya Pertalite hanya untuk kendaraan roda dua dan angkutan umum.
Menurutnya, saat ini penambahan anggaran subsidi BBM untuk menahan kenaikan harga Pertalite sudah tepat dalam menjaga inflasi dan daya beli masyarakat. Namun demikian, secara jangka panjang pemerintah tetap harus mencari cara untuk menekan anggaran subsidi agar tidak membebani APBN.
Ada juga yang mengusulkan, subsidi tepat sasaran perlu aturan yang jelas. Kendaraan yang berhak menikmati subsidi harus mudah dikenali. Begitu pula konsumsi BBM bersubsidi untuk angkutan umum perlu batasan yang jelas, karena sekarang banyak mobil pribadi yang dioperasikan sebagai alat transportasi online.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sebesar 60 persen masyarakat mampu atau yang masuk dalam golongan terkaya mengonsumsi hampir 80 persen dari total konsumsi BBM bersubsidi. Sedangkan 40 persen masyarakat rentan dan miskin hanya mengonsumsi 20 persen dari total subsidi energi tersebut.
Masalahnya, sesuai data yang pernah diungkap pengamat ekonomi Faisal Basri, kini banyak rakyat Indonesia yang jatuh miskin akibat pandemi Covid-19. Karena itu, belum tentu semua pemilik mobil pribadi masih tergolong orang mampu. Kalau pemilik mobil mewah jelas orang kaya. Lagipula, orang Indonesia sering terpaksa beli mobil sekalipun dengan kredit, karena kondisi cuaca maupun karena sarana angkutan umum kurang memadai atau tidak saling connecting.
Artinya, subsidi tetap harus diberikan untuk meringankan beban rakyat, bukan semata-mata mengamankan APBN atau agar tidak melewati batas kuota BBM subsidi seperti dikatakan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Toh semua orang tahu bahwa beban berat APBN saat ini lebih disebabkan pengeluaran untuk membayar cicilan utang luar negeri dan bunganya.
Politik anggaran perlu lebih afirmatif agar kesejahteraan rakyat membaik di tengah kebocoran dana akibat korupsi dan peningkatan pendapatan para pejabat. Selebihnya, pemerintah perlu memikirkan langkah jangka panjang untuk lebih menghemat konsumsi BBM yang tidak bisa diperbaharui. Misalnya, dengan mendorong keterlibatan Indonesia bersama negara lain dalam inovasi mobil listrik, mengingat kekayaan nikel kita sebagai bahan baku baterai.
Potensi Kerawanan
Di balik setiap program digital selalu mengintai berbagai potensi kerawanan. Termasuk program aplikasi MyPertamina. Untuk mendaftar program ini, masyarakat diminta memasukkan data-data pribadi yang sejatinya bersifat rahasia. Cukup lengkap data pribadi yang harus diunggah, dari mulai NIK, tempat dan tanggal lahir, alamat sesuai KTP dan alamat tinggal, foto diri, foto STNK, besaran pajak mobil, batas akhir pajak, hingga foto kendaraan.
Mungkin kita akan bertanya, apakah harus sebanyak itu data yang harus dikumpulkan? Tidak bisakah Pertamina bekerja sama dengan Samsat untuk data-data terkait kendaraan? Kalau yang dibutuhkan hanya data kendaraan dan nama pemilik atau pemakainya agar muncul QR Code, mengapa harus ada NIK, tanggal lahir, alamat, dan foto diri segala?
Keharusan mencantumkan data pribadi secara berlebihan itulah yang memicu pertanyaan, skeptisisme, atau bahkan kecurigaan sementara dari masyarakat. Tersirat juga anggapan bahwa lembaga-lembaga pemerintah dan BUMN tidak saling koordinasi, sinergi, dan terkoneksi satu sama lain. Di era digital ini data kendaraan masih harus dihimpun lagi dan NIK hanya bisa dipakai untuk keperluan yang terpisah-pisah.
Karena itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mempertanyakan keamanan data pelanggan tersebut. Ada potensi besar data pribadi masyarakat dimonetisasi dan disalahgunakan nantinya. Kekhawatiran ini wajar saja karena berbagai pengalaman sebelumnya di mana data pribadi mudah berpindah ke pihak lain yang tidak berhak. Hal ini karena Indonesia belum juga memiliki Undang-Undang Kerahasiaan Data Pribadi.
Untuk keamanan data, Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga (PPN) Mars Ega Legowo Putra mengatakan, hal itu sepenuhnya diserahkan kepada PT Telkom (Persero) Tbk. “Ini kami tidak bekerja sendiri, secara sistem IT saya rasa kami sinergi BUMN sama Telkom. Begitu juga dengan keamanan IT-nya ya. Server-nya ada di Telkom,” ujarnya.
Kekhawatiran data pelanggan akan dimonetisasi untuk keuntungan Pertamina maupun pihak lain mulai terdeteksi dalam pendaftaran aplikasi MyPertamina. Ada pengalaman pendaftar aplikasi tersebut yang viral di media sosial.
Berikut ini kutipan tulisan pendaftar tersebut (setelah diedit):
Biar nanti bisa beli BBM bersubsidi, tadi saya install ulang aplikasi layanan keuangan digital MyPertamina. Rupanya, aplikasi ini terintegrasi dengan aplikasi sejenis, yaitu LinkAja. Jadi untuk transaksi beli BBM, pembeli harus punya dana di LinkAja. Karena penasaran, walaupun programnya baru akan dimulai 1 Juli mendatang, saya coba isi (transfer) dana ke aplikasi tersebut seadanya, namanya juga coba-coba. Dana masuk, lancar, tetapi saya melihat di situ tertera biaya admin Rp 1.000.
Sepertinya tidak berarti karena cuma seribu, tapi saya lalu berpikir, berapa banyak biaya admin yang bakal masuk ke LinkAja ke depan dalam transaksi beli BBM bersubsidi. Jutaan konsumen pasti akan mengisi (top up) dana ke LinkAja, bisa beberapa hari sekali.
Dengan jumlah kendaraan bermotor (mobil dan motor) di Indonesia tahun 2022 ini sebanyak 145 juta, taruhlah yang beli BBM bersubsidi hanya 10 persen, berarti ada 14,5 juta kendaraan. Maka, sebanyak 14,5 juta x Rp 1.000 terkumpul Rp 14,5 miliar setiap transaksi masuk ke LinkAja.
Jika dalam sebulan katakanlah 14,5 juta pelanggan tersebut rata-rata 5 x top up, maka Rp 72,5 miliar masuk ke LinkAja. Itu dengan asumsi hanya 10 persen pemilik kendaraan yang beli BBM bersubsidi. Kalau 20 persen, 30 persen, 50 persen atau lebih, kalikan saja sendiri. Belum lagi kalau top up lebih dari 5 x sebulan.
Saya acungi dua jempol atas kejelian MyPertamina bersama LinkAja dalam hal ini. Saya buka di Google, LinkAja merupakan layanan keuangan digital dari Telkomsel sebagai pemilik saham terbesar (25 persen), kemudian Bank Mandiri, BNI 46, dan BRI masing-masing 20 persen, BTN dan Pertamina masing-masing 7 persen, serta Jiwasraya dan Danareksa masing-masing 1 persen. Mantap jiwa. Ngakalin rakyat lagi!
Tampaknya belum ada tanggapan Pertamina terkait konsekuensi dari kerja samanya dengan LinkAja dalam aplikasi MyPertamina. Sejauh ini pihak Pertamina hanya mempersilakan masyarakat untuk mendaftar melalui saluran yang ada, tidak harus melalui aplikasi MyPertamina. Bisa lewat web “subsiditepat.mypertamina.id” atau langsung di SPBU Pertamina.
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post