TEGAL, Panturapost.com – Saryadi, 38 tahun, sedang asyik membaca buku di sebuah ruangan di pojok timur Terminal Kota Tegal. Tangannya sibuk membolak-balikan lembar demi lembar buku bertema agama tersebut. Sesekali dia berhenti sejenak, lalu menutup buku. “Setiap hari saya sempatkan datang ke perpustakaan ini,” kata pedagang asongan itu.
Meski berada di terminal, ruangan yang dibangun sejak lima tahun silam itu jauh dari kesan kumuh. Ruangan yang diberi nama Taman Baca Masyarakat (TBM) Sakila Kertiini tampak bersih dan nyaman. Dua unit kipas angin terpasang di pojok ruangan bekas smoking area itu. Buku-buku dari berbagai macam disiplin ilmu tertata rapi di rak-rak.
Adalah Yusqon, 50 tahun, penggagas dan pendiri perpustakaan mungil itu. Pria yang pada 2010 lalu baru saja mendapatkan gelar doktor bidang manajemen pendidikan itu mendirikan taman baca di terminal pada 2010 lalu. Semangat yang dibangun oleh dia dan teman-temannya adalah menyebarkan virus membaca di kalangan pedagang asongan, pengemis, sopir, kondektur, dan pengunjung atau penumpang yang datang ke terminal tersebut.
Awalnya koleksi buku di sana hanya sekitar 500 buah. Yusqon membawa setengah lebih buku-buku koleksinya ke terminal. Selain itu, ada juga bantuan dari beberapa koleganya. Jumlah pengunjung saat itu juga tak seberapa. Kadang, sehari sepi tak berpenghuni. Berbagai cara dilakukan agar taman baca itu ramai. Yaitu dengan merangkul paguyuban pedagang asongan, pengemis, dan sopir setempat. Mereka diberi pelatihan-pelatihan pembuatan kerajinan dengan memanfaatkan barang bekas setiap dua pekan sekali.
Walhasil, kini, jumlah pengunjung pun bertambah. Setiap hari puluhan pengasong bahkan pengemis yang berkunjung dan membaca buku. Koleksi buku Taman Baca Sakila Kerti sudah lebih mencapai 10 ribu buah. Dia tidak membatasi maupun menyeleksi buku apa saja yang masuk. Menurutnya, semua orang berhak belajar dari berbagai sumber literature. “Semua buku mengajarkan kebaikan,” kata gpria yang sehari-hari mengajar di SMK Negeri 5 Kota Tegal ini.
Keberadaan TBM Sakila Kerti ini juga sangat dirasakan oleh sejumlah pengasong hingga pengemis di sana. Setidaknya itulah yang dirasakan Saryadi. Penjual wingko babat ini melihat ada perbedaan di kalangan sesama pengasong, baik dari tutur kata, maupun pengetahuan yang dimiliki. “Di sini yang paling sering jadi bacaan itu buku agama. Lumayan dapat pengetahuan. Ada juga pengemis yang tadinya tidak bisa baca, karena sering mampir dan belajar, sekarang jadi bisa baca,” katanya.
TBM Sakila Kerti tidak hanya sukses di tingkat lokal. Sejumlah penghargaan tingkat provinsi dan nasional pun pernah diraih oleh taman baca ini. Seperti penghargaan taman baca paling kreatif dan rekreatif dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2012. Kemudian penghargaan dari Pemerintah Provinsi tentang pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM) pada 2015. “Kebetulan kami punya produk UKM hasil pelatihan yang dijual di sini (Terminal),” kata Yusqon.
Pada lima tahun pertama, pengelola taman baca ini dikoordinatori langsung oleh Yusqon dibantu oleh sejumlah mahasiswa, guru, dan dosen dari perguruan tinggi di Tegal. Pada akhir Maret lalu, setelah ada pergantian pengurus, kini sakila kerti resmi dikelola secara mandiri oleh pedagang asongan, dan diketuai oleh Saryadi.
Akademisi dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pancasakti Tegal, mengatakan kepedulian para pendidik untuk menyebarkan virus membaca di masyarakat masih sangat kurang. Selama ini, kata dia, para guru dan dosen hanya berfokus kepada pendidikan formal saja. Sebagai akademisi, dia mengapresiasi apa yang dilakukan Yusqon dan kawan-kawan. “Yang saya tahu, ini satu-satunya taman baca yang ada di terminal. Ini bagus karena langsung menyentuh kaum yang termarjinalkan,” ungkapnya.
Sumber: Koran Tempo
Discussion about this post