Bulan Ramadhan bagi masyarakat di Nusantara disebut juga dengan bulan puasa/pasa. Kedatangan bulan ini kerap disambut dengan perayaan meriah yang sarat dengan simbolik. Dan ini membuktikan bahwa perayaan ritual agama mampu mengintegrasikan segala ketegangan-ketegangan sosio-politik. Puasa menjadi momentum yang dalam kehidupan sosial dirayakan dengan penuh gebyar suka cita.
Raja-raja Jawa Mataram menyambut bulan Puasa dengan ritual. Gagasan menyambut bulan mulia dengan sarat simbolik politik kebudayaan Islam dirintis oleh Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792) melalui perayaan garebeg. Garebeg menjadi simbol kemegahan institusi politik sekaligus simbol kemakmuran. Perayaan garebeg dirayakan menyambut bulan Maulud, Besar (Dzulhijjah) dan Syawal (menyambut bulan puasa, syawal dan perayaan Lailatul Qodar). Tradisi garebeg ini merupakan adaptasi dari perayaan Rajawdha.
Itu perayaan yang ditunjukkan dalam ranah kawula elit. Representasi kemegahan dan tanggung jawab penguasa dalam kehidupan beragama sudah terasa. Kraton dan simbol raja merupakan khalifatullah sayidin panatagama. Tentang bagaiamana representasi kemegahan itu ditunjukkan dalam studi sejarawan MC Ricklefs, Samber Nyawa Pangeran Mangkunegars I (1726-1795) atau mengenai sepak terjang Pangeran Mangkubumi, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi (1749-1792). Kedua keraton peninggalan Mataram menguatkan tentang bagaimana kekuasaan membutuhkan legitimasi atau support dari agama. Kesahihan ini diperlukan dengan berpadu dengan nilai-nilai setempat. Inilah yang disebut Riclefs sebagai sinkretik mistisisme.
Bulan Ramadhan atau Pasa adalah salah satunya selain Syawal, Mulud (Maulud) dan Besar (Dzulhijjah). Eksotisme dalam perayaan ini disuguhkan dengan lantunan gamelan pusaka keraton, seperti Kraton Kasultanan Ngayogyakarta saat perayaan garebeg dimainkan gong Kiai Bicak yang dihubungkan dengan Sunan Kalijaga, dan gamelan Kiai Selsati.
Tradisi yang jauh lebih tua untuk menyambut datangnya bulan puasa ada pada perayaan dandangan. Konon ritus perayaan ini disambungakan dengan sejarah saat Sunan Kudus mengumumkan mulai waktu berpuasa di hadapan santri-santri dan masyarakat di kompleks Masjid Kudus. Istilah dandangan dari bunyi bedug Masjid Kudus yang nyaring berbunyi, “daanngg”. Hal yang berubah dengan perayaan kemungkinan sisi entertainment yang bertambah.
Tak kalah dengan perayaan dandangan, di Semarang ada perayaan dugderan menyambut puasa. Dirintis Bupati Semarang kala itu, Raden Mas Tumenggung Purbaningrat tahun 1881. Dalam perayaan muncul ikon binatang warak ngendog. Warak ngendog merupakan filosofi dari beberapa unsur yang menyiratkan pertautan unsur Jawa (disimbolkan dengan postur warak menyerupai kambing), Tionghoa (disimbolkan kepala warak menyerupai naga) serta unsur Arab (simbol bulu-bulu warak). Simbol-simbol itu meneguhkan soal kemajemukan masyarakat Semarang hingga kini.
Jalan kemuliaan menyambut bulan puasa dilakukan dengan cara menarik melalui simbolisasi perayaan dan ritus yang berpadu dengan nilai-nilai lokalitas. Beberapa masyarakat di Indonesia lainnya menggelar tradisi bersih diri melalui ritus padusan, kungkum atau mandi besar. Menghilangkan daki dosa serta laku bersih merupakan sesuatu makna dari symbol-simbol kultural.
Puasa tidak hanya diartikulasikan sebagai ruang eskatologik pada Sang Khalik, namun diartikan sebagai implementasi dari kesalehan sosial pada sesamanya. Tradisi unggah-unggahan salah satunya. Unggah-unggahan bermakna munggah (naik) atau yang berhubungan dengan nilai-nilai kesantunan / tata krama (masyarakat Jawa mengenalnya sebagai unggah-ungguh). Unggah-unggahan yang dimaksud dalam kaitan ini ialah membagi makanan / kudapan pada masyarakat di sekeliling, dengan terlebih dahulu didoakan. Tradisi unggah-unggahan akan ditutup dengan tradisi udun-udunan yang digelar setelah memasuki puasa di atas hari ke 21 (likuran). Udun-udunan berarti turun yang diharapkan sebagai keseimbangan setelah munggah. Munggah diartikulasikan sebagai relasi vertikal pada Sangkan Paran. Sedangkan udun-udunan memaksa dalam kehidupan manusia memperhatikan di bawahnya. Setelah menata relasi vertikal.
Apa yang dikaitkan dengan sinkretisme nilai-nilai lokal tentu menambah khazanah kekayaan dalam kebudayaan Islam di Indonesia. Tentu ini bukan semata untuk mempersempit makna Islam sinkretik sebagaimana peristilahan Clifford Geertz dalam studi klasiknya, Religion of Java (1960). Kekuatan nilai-nilai budaya setempat dengan pengaruh Islam menguatkan persinggungan dengan nilai setempat. Persinggungan itu bisa mengakomodir menjadi kekuatan dan identitas unik. Namun persinggungan tersebut menjumbuhkan ketegangan-ketegangan. Tetapi pernyataan terakhir meluruh setelah mencairnya politik aliran di Indonesia. Jika merunut studi Geertz (Religion of Java) atau studi Ricklefs (Mengislamkan Jawa) friksi ketegangan itu di antara masing-masing status kelas maupun antara penganut Islam dengan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Puasa menjadi momentum baik sebagai bagian ritus ibadah dan peneguhan identitas nilai-nilai keislaman maupun bagian dari perayaan kebudayaan hasil sinkretik Islam dengan nilai-nilai setempat. Jalan kemuliaan itu telah ditebarkan melalui momentum puasa. (*)
—
Wijanarto, Sejarawan.
Discussion about this post