BEGITU perkasanya Viktor Axelsen, sehingga muncul pertanyaan, siapa yang bisa mengalahkan pebulutangkis nomor satu dunia tersebut saat ini?
Saat mengemas gelar juara dunianya yang kedua di Tokyo, akhir Agustus lalu, pemain Denmark itu nyaris tidak memberikan gim kemenangan kepada lawan-lawannya. Rising star dan mantan juara dunia yunior dari Thailand, Kunlavut Vitidsarn, yang ditemuinya di final, pun dikalahkannya dua gim langsung.
Sulitnya merobohkan pemain jangkung dengan tinggi 194 centimeter itu hampir dialami oleh seluruh pemain top dunia saat ini, termasuk andalan Indonesia Antony Sinisuka Ginting. Dengan segala kemampuan yang dimiliki peraih medali perunggu Olimpiade Tokyo 2020 itu, termasuk gerak footwork dan pukulan tipunya, Ginting belum mampu mengalahkannya dalam dua pertemuan terakhir.
Dalam dua tahun belakangan, hanya lima pemain yang pernah mengalahkan Axelsen, dan itu pun melalui perjuangan keras selama tiga gim. Mereka adalah kompatriot senegaranya, Anders Antonsen, kemudian Lakhsya Sen dan Prannoy HS (India), juara dunia 2020 Loh Kean Yew, serta jagoan Malaysia yang juara All England 2022 Lee Zii Jia.
Begitu alotnya Axelsen untuk dikalahkan, maka dia pun dijuluki “monster” atau “alien”. Dijuluki demikian, Axelsen yang biasa disapa Papa Vega itu pun berkata, “Saya pemain (bulutangkis) seperti yang lain, tetapi saya terus belajar dari kelemahan dan berusaha menjaga performa.”
Axelsen mulai menggantikan singgasana Kento Momota dari Jepang sebagai raja bulutangkis dunia tunggal putra setelah tidak terkalahkan dalam setahun terakhir. Pasca pandemi Covid-19, dialah satu-satunya pemain tunggal putra yang tampil paling stabil dan konsisten di berbagai turnamen yang diikutinya. Itu pula yang membuatnya selalu menjadi juara sejak serial turnamen internasional akhir tahun 2021 di Bali hingga Kejuaraan Dunia Tokyo 2022.
Determinasi yang Kokoh
Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang membuat Axelsen menjadi pemain bulutangkis paling sukses dan layak dicontoh saat ini. Pertama, dia pemain dengan determinasi yang kokoh. Dia sangat ketat dalam mengatur ritme kehidupan pribadi dan keluarganya, menetapkan target yang jelas dan konsisten dalam setiap turnamen yang diikutinya, dan fokus dalam permainannya di lapangan.
Itulah sebabnya kita jarang menyaksikan kesalahan sendiri (unforced error) dalam permainannya. Bahkan dia acapkali mampu menempatkan bola (shuttlecock) dengan presisi yang baik, misalnya smes yang efektif dan pukulan yang mepet garis dan jauh dari jangkauan lawan. Postur tubuhnya sangat mendukung permainan presisi itu.
Faktor determinasi itulah yang membuatnya berbeda dari Kento Momota di masa senjanya sekarang. Sama-sama berusia 28 tahun, Momota sedang dalam tahap penurunan, sedangkan Axelsen justru sedang dalam puncak permainannya.
Medali emas Olimpiade Tokyo 2020 adalah awal determinasi Axelsen yang menjaga motivasi, konsistensi, dan performanya. Begitu bangga dan puasnya dia dengan sumbangan medali emas buat negaranya, sampai-sampai mungkin dialah satu-satunya peraih medali olimpiade yang paling lama menangis bahagia usai pertandingan final melawan Chen Long dari China.
Ternyata memang bukan hanya Axelsen yang bangga, melainkan seluruh komunitas bulutangkis Eropa merasa terangkat jati dirinya. “Medali emas olimpiade dari Viktor Axelsen adalah momen terbesar, ini adalah bukti bahwa benua kami dapat bersaing ketat dengan Asia dalam memenangi turnamen besar,” kata Presiden Bulutangkis Eropa (BE) Peter Tarcala. BE beranggotakan 51 negara.
Profesionalisme yang Tinggi
Faktor kedua yang membuat Axelsen bisa seperti sekarang adalah profesionalisme yang tinggi. Setelah keluar dari pelatnas bulutangkis Denmark, dia mendirikan pusat pelatihan sendiri di Dubai. Diundangnya para rivalnya sejumlah pemain top dunia untuk berlatih bersamanya di sana. Termasuk di antaranya Loh Kean Yew asal Singapura.
Ketika terpapar covid, Axelsen menyewa jet pribadi untuk mengangkut dirinya dari Dubai ke Denmark. Dia sadar pentingnya kesehatan dan perawatan dirinya demi melanjutkan kariernya.
Sikap profesional itu mendukung determinasinya di lapangan. Untuk bisa tampil konsisten, dia harus selalu menjaga kebugaran dan stamina tubuhnya. Karena itu, dia harus bisa memutuskan kapan harus tampil dan kapan harus istirahat. Tidak bisa jor-joran mengikuti seluruh turnamen sepanjang tahun yang jadwalnya begitu padat. Dia hanya terjun di turnamen-turnamen besar agenda Federasi Bulutangkis Dunia (WBF) berkelas Super 750 dan Super 1000.
Itulah sebabnya dia mundur dari turnamen Jepan Open 2022 setelah merebut medali emas di Kejuaraan Dunia 2022. Sedikit cedera dan kebutuhan pemulihan tidak membuatnya tergiur untuk memburu gelar lagi, yang justru mungkin akan membuatnya terpuruk.
Sebaliknya, banyak pemain dunia, termasuk Kento Momota, yang membiarkan dirinya kelelahan dengan mengikuti banyak turnamen. Akibatnya bisa ditebak, tersingkir di babak-babak awal oleh lawan yang bukan unggulan. Padatnya turnamen dan meratanya kekuatan pemain dunia membuat siapa pun yang ingin juara harus pandai-pandai mengukur kesiapan dan kondisi dirinya.
Falsafah Hidup yang Pas
Faktor ketiga adalah falsafah hidup Axelsen yang pas sesuai dengan statusnya sebagai atlet. Falsafah ini terbentuk dari pengalaman dan suka-dukanya selama meniti karier sebagai atlet bulutangkis. Untuk bisa sampai pada tingkatannya sekarang, dia telah menjalani masa-masa yang getir dan perjuangan yang berat.
Lihatlah bagaimana dia belajar dari kekalahannya melawan rival-rival legendarisnya saat dia masih muda dan imut, mulai dari Taufik Hidayat, Lin Dan, hingga Momota. Dia sudah pernah menjadi bulan-bulanan ketiga legenda dunia itu. Saat sudah mencapai puncak pun, sehebat apa pun dia, hampir tidak mungkin bisa menyamai rekor pendahulunya itu.
Axelsen tidak mungkin bisa menyamai rekor Taufik Hidayat yang sudah menjadi pemain nomor satu dunia saat usianya masih 19 tahun. Begitu pula rekor Lin Dan, rasanya teramat sulit untuk menyamainya. Lin Dan tercatat sebagai pemain bulutangkis terbesar dalam sejarah dengan prestasi dua medali emas olimpiade, lima gelar juara dunia, dan enam gelar juara All England.
Hal itu dipahami dan disadari oleh Axelsen, sehingga dia tidak pernah merasa jemawa. Dia merasa harus terus belajar dari kelemahan dirinya maupun dari kelebihan lawan-lawannya. Apalagi ketika usia sudah mulai menghantuinya.
Salah satu kerendahan hatinya adalah tanggapannya ketika dia disebut sebagai pebulutangkis yang kaya dari hasil berbagai turnamen. Axelsen tidak merasa dirinya kaya, meskipun untuk tahun 2022 saja dia menerima total hadiah turnamen sebesar 232.750 dolar AS atau sekitar Rp 3,3 miliar. Itu hadiah tertinggi yang diterima pemain bulutangkis sepanjang 2022.
“The rich is having a family and loving what you are to do (orang kaya itu adalah yang memiliki keluarga dan mencintai apa yang diperbuatnya),” begitu jawaban Axelsen.
Jawaban itu banyak mendapat apresiasi dan aplaus dari pecinta bulutangkis dunia. Jawaban dan definisi yang simpel, yang menyiratkan pemahaman filosofis atas makna dari kekayaan harta, yaitu kebahagiaan memiliki keluarga yang dicintainya dan kebahagiaan karena menyukai pekerjaaannya.
Seluruh faktor yang melambungkan Axelsen itu kiranya layak menjadi cermin bagi pemain dunia lainnya, termasuk bintang-bintang bulutangkis kita. Di tengah stagnasi atau bahkan merosotnya performa para pebulutangkis kita saat ini, kekuatan pribadi Axelsen mungkin bisa menjadi sumber inspirasi untuk kebangkitan para pemain kita. Semoga.
A. Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post