WACANA pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencuat setelah penangkapan tiga orang ulama oleh Densus 88 Antiteror. Mereka adalah Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ahmad Zain an-Najah, dan Anung al-Hamad. Dua di antaranya adalah anggota Komisi Fatwa MUI, yakni Ahmad Zain an-Najah yang merupakan anggota Komisi Fatwa MUI Pusat dan Farid Ahmad Okbah sebagai anggota Komisi Fatwa MUI Kota Bekasi.
Berbagai dugaan dan analisis terkait latar belakang penangkapan itu pun mengemuka. Misalnya, dilihat dari modusnya, penangkapan itu dilakukan untuk mencegah penyebaran informasi yang dapat menurunkan kredibilitas pemerintah. Modusnya sama dengan pencidukan oleh Densus 88 sebelumnya terhadap Sekretaris Umum FPI Munarman di rumahnya, Pamulang, Tangerang Selatan.
Munarman dituduh terlibat terorisme. Namun, konon, dia ditangkap karena mengetahui siapa dalang di balik pengintaian Habib Riziq Shihab (HRS) dan pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarganya. Kebetulan saat itu juga sedang disusun buku putih tentang tragedi pembantaian enam anggota Laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek.
Polanya hampir sama dengan penangkapan Munarman di tengah dugaan keterlibatan petinggi militer, kepolisian, dan intelijen dalam kasus pembunuhan anggota Laskar FPI. Tiga ulama tadi ditangkap di tengah intrik seputar pengangkatan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan KSAD Jenderal Dudung Abdulrachman.
Ada juga dugaan bahwa penangkapan ulama tersebut untuk pengalihan isu seputar bisnis PCR, yang disebut-sebut melibatkan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan serta Menteri BUMN Erick Thohir. Perkembangan terakhir, Erick menyebut nama Presiden Joko Widodo sebagai salah satu pembuat kebijakan penetapan PCR untuk syarat pengguna transportasi umum.
Stigmatisasi
Penangkapan ulama anggota Komisi Fatwa MUI memancing berbagai reaksi, termasuk kalangan yang memanfaatkan momen ini untuk menyerukan pembubaran MUI. Ini adalah gelombang kedua kemunculan sikap anti-MUI, menyusul kasus “Al-Maidah ayat 51” dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2012 yang dianggap menjegal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pencidukan tiga ulama terkait terorisme itu membentuk stigmatisasi atas tuduhan radikalisme yang konon sudah merasuk ke tubuh MUI. Radikalisme di sini dipahami sebagai sikap kritis sejumlah pimpinan MUI baik di pusat maupun daerah terhadap pemerintah. Rupanya, ada pihak-pihak yang merasa gerah dengan vokalnya sejumlah tokoh MUI, ditambah kaitannya dengan fatwa MUI sebelumnya.
Fatwa dimaksud adalah Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang pengharaman atribut non-muslim dipakai oleh muslim. Fatwa ini terkait maraknya pemakaian atribut Natal oleh pegawai muslim di pusat-pusat perbelanjaan, seperti swalayan dan mal. Korelasi ini mungkin tidak sepenuhnya betul, namun juga tidak terabaikan. Misalnya, kenapa Staf Ahli Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo ikut-ikutan mendukung wacana pembubaran MUI.
Stigmatisasi terhadap MUI sebagai organisasi puncak yang mewakili kalangan ulama dan tokoh-tokoh organisasi Islam bisa jadi merupakan target berikutnya yang penting, menyusul pembubaran HTI dan FPI. Jika HTI dan FPI dianggap sebagai ormas Islam yang parsial, bahkan mungkin dicap sebagai “kelompok sempalan” (splinter group) di tengah mayoritas umat Islam Indonesia yang moderat, MUI adalah representasi dari kepemimpinan umat Islam Indonesia.
Karena itu, kalau MUI berhasil dibubarkan, maka tidak ada lagi ormas pemersatu umat Islam yang boleh mengatasnamakan Islam di Indonesia. Tidak ada lagi organisasi ulama yang fatwanya mengikat seluruh komunitas Islam di Indonesia. Tinggal Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi sosial dan keagamaan yang fatwanya hanya mengikat para anggotanya.
Jelaslah kenapa MUI menjadi sasaran stigmatisasi untuk dibubarkan, karena lembaga ini bertugas memberikan petunjuk moral kepada umat dalam menghadapi perkembangan zaman. Pandangan dan fatwa-fatwanya mencakup seluruh bidang kehidupan, karena Islam mengatur segalanya, termasuk yang terkait dengan kehidupan kenegaraan dan hubungan antarumat beragama.
Wajar jika fatwa MUI terkadang menimbulkan gelombang reaksi yang besar. Misalnya, saat dulu MUI dipimpin oleh Buya Hamka mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam mengucapkan Selamat Natal dan menghadiri perayaan Natal bersama. Buya Hamka akhirnya memilih mundur sebagai Ketua Umum MUI pada 19 Mei 1981, karena merasa ditekan oleh menteri agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara.
Deradikalisasi
Sebelumnya, muncul pula seruan agar Densus 88 dibubarkan, dan di antara suara penentangan itu keluar dari beberapa tokoh MUI. Makin gencarnya suara-suara vokal tokoh MUI ditambah kritik mereka terhadap Densus 88 melengkapi anggapan bahwa MUI sudah menjadi “organisasi radikal”.
Sejatinya, Densus 88 merupakan alat negara yang penting. Organ kepolisian ini diperlukan untuk mempertahankan negara dari ancaman terorisme, baik terorisme dalam negeri maupun luar negeri. Terorisme dapat mengancam keamanan dan keadaulatan negara. Karena itu, dibutuhkan deteksi dini untuk menangkal ancaman tesebut. Densus 88 adalah organ utama dalam melaksanakan kebijakan pre-emptive terhadap terorisme.
Namun, organ sepenting Densus 88 dapat berbalik menjadi “teroris negara” bagi rakyatnya jika dimanfaatkan oleh penguasa untuk memberangus lawan-lawan politiknya. Dia bisa menjadi semacam polisi rahasia dalam negara yang otoriter. Tanpa ba-bi-bu, dia bisa menangkap dan menahan siapa saja yang tidak dikehendaki oleh pemerintah. Peluang seperti ini terbuka di negara seperti Indonesia di mana kepolisian berada langsung di bawah presiden.
Radikalisme merupakan isu sentral dalam pemerintahan Joko Widodo untuk menjaga stabilitas negara dan pemerintahan. Isu ini dikembangkan dan dilembagakan untuk menangkal ancaman destabilisasi dari lawan-lawan politik sejak Pilpres 2014, bahkan sejak Pilkada DKI 2012. Meskipun Prabowo Subianto, rival politik Jokowi, sudah bergabung dalam pemerintahan sebagai Menteri Pertahanan, simbol perlawanan politik masih eksis dalam diri figur HRS dan para aktivis Islam lainnya.
Maka, radikalisme di dalam negeri diarahkan kepada Islam sebagai kekuatan politik. Orientasinya mirip dengan pemerintahan Presiden Soekarno, terutama setelah Pemilu 1955. Menurut Daniel S. Lev (2009), momentumnya adalah tahun 1957, yakni ketika PKI makin kuat dan berani menekan Bung Karno setelah memenangi pemilu regional 1957. Selain itu, muncul ketidakpuasan dari wilayah-wilayah di luar Jawa yang memicu pemberontakan pada 1958.
Peristiwa Cikini membuat Soekarno bertindak koersif dan represif terhadap lawan-lawan politiknya, terutama tokoh-tokoh Masyumi yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa pengadilan. Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan pada 1960. Peristiwa Cikini adalah kejadian percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Jalan Cikini No. 76 Jakarta Pusat pada 30 November 1957. Upaya pembunuhan ini didalangi oleh Jusuf Ismail, anggota pemberontak DI/TII.
Saat Donald Trump menjabat Presiden Amerika Serikat, dia menggunakan Rand Corporation untuk menyusun konsep dan program deradikalisasi (Jackson, 2019). Program ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Pertama, melawan kampanye online para ekstremis. Kedua, promosi dan intervensi. Ketiga, mengurangi residivis teroris.
Termasuk dalam tahap pertama adalah menghapus konten online yang mengandung kekerasan, mengampanyekan pesan online untuk mendorong masyarakat dapat mengidentifikasi orang yang teradikalisasi, memberikan sumber daya dalam membantu para keluarga untuk menghindari radikalisasi, memperkuat koordinasi dan kolaborasi lintas organisasi.
Tahap kedua, antara lain, membangun kesadaran dan intervensi, kampanye pendidikan deradikalisasi kepada masyarakat, membuat program untuk membantu intervensi, dan membantu program non-pemerintah untuk intervensi. Pada tahap terakhir, dibuat program di dalam penjara meliputi konseling psikologi, konseling agama, dukungan sosial (konseling keluarga, konseling kerja), dan membuat program setelah dihukum.
Program deradikalisasi di Indonesia tampaknya tidak berbeda jauh dengan yang diterapkan di AS dengan Islam sebagai sasaran utama. Selain kampanye antiradikalisme, pemerintahan Jokowi juga mendorong dan membantu organisasi-organisasi sosial, termasuk ormas Islam, dalam kegiatan deradikalisasi. Ketika konsep Rand Corporation diterapkan di Indonesia yang mayoritas Islam, dengan sendirinya muncul pertentangan dan gesekan di antara sesama muslim.
Islamophobia
Akar dari deradikalisasi global yang diarahkan kepada Islam adalah sentimen fobia terhadap Islam (Islamophobia) yang dimulai pada tahun-tahun setelah pengeboman Gedung WTC 11 September 2001. Tragedi ini sekaligus dijadikan momentum oleh AS untuk menyatakan perang melawan terorisme.
Untuk mendukung perang global melawan terorisme itu, AS memberikan bantuan kepada banyak negara, termasuk Indonesia. Setelah tragedi Bom Bali 2002, pemerintah AS memberikan bantuan 50 juta dolar (sekitar Rp 700 miliar) kepada Indonesia, dan 12 juta dolar (sekitar Rp 168 miliar) di antaranya untuk pembentukan unit antiteror. Konon, awal pembentukan Densus 88 mendapatkan bantuan secara teknis dari instruktur CIA, FBI, dan United State Secret Service (USSS).
Pada tahun 2011, Presiden Barack Obama mendirikan Program Countering Violent Extremism (CVE) untuk melawan semua ideologi kekerasan, yang diselenggarakan oleh kelompok atau individu di AS, dengan melibatkan masyarakat dalam upaya kontraterorisme.
Di bawah kebijakan Trump, CVE lebih mengarah kepada muslim Amerika dan komunitas minoritas lainnya. Mayoritas program pendanaan CVE secara eksplisit menargetkan muslim dan komunitas minoritas lainnya. Kebijakan CVE mengesampingkan fakta yang cukup signifikan terkait pembunuhan massal yang dilakukan oleh pelaku kulit putih.
Melihat cikal bakal dan perkembangan global kebijakan antiteror itu, jelas tampak adanya pelembagaan antiteror oleh AS kepada banyak negara dengan sumber motivasinya berupa fobia Islam, sehingga sikap anti-Islam ini merebak bagaikan virus. Motivasi ini sudah diberitahukan oleh Alquran: “Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (Q.S. Ash-Shaf : 8).
Banyak pendapat dan analisis yang menguatkan fenomena tersebut. Kalangan pakar dan pengamat yang jujur akan membenarkan tujuan sebenarnya dari perang melawan terorisme. Jurnalis terkenal dari Australia, John Pilger, misalnya, menyebut korban terbesar terorisme adalah umat Islam.
Mengapa negara muslim seperti Indonesia mengadopsi begitu saja program antiteror AS? Hal ini tentu saja tidak terlepas dari efek balas budi dan ketergantungan atas bantuan yang diterima serta cermin dari watak kekuasaan.
Bagi penguasa yang semata-mata hanya ingin menikmati kekuasaannya, program antiteror adalah senjata efektif untuk mengekalkan kekuasaannya. Namun, bagi penguasa muslim yang demokratis dan terikat dengan agamanya, program antiteror hanyalah alat bantu untuk stabilitas dan keamanan negara serta kesejahteraan rakyatnya.
Dari situlah kita paham kenapa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa teroris hanyalah bikinan pemerintah, dan polisi terkait dengan itu.
Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.
Discussion about this post